KAMI HANYA GILA
( Kondisi mapala di Indonesia )
Gila ….
Itu kata pertama yang harus saya garis bawahi.
Berdasarkan banyak penelitian, konon seseorang sukses itu ditentukan 15% oleh technical expertise nya ( keahlian teknis ), sementara 85% ditentukan oleh karakter, alias Positive Mental Attitude (PMA). Ada banyak orang yang IQ nya lebih tinggi dan lebih jenius dari Einstein, tapi untuk menjadi se kreatif Einstein, hanyalah the only Einstein. Ada banyak ahli penerbangan di dunia ini, tapi Mr. crack hanyalah seorang Habibie. Titik.
Ada banyak fisikawan terkemuka didunia ini, tapi yang melahirkan E=mc2 hanyalah seseorang yang berkarakter Einstein. Tak kurang ahli dirgantara dan penerbangan, tapi teori tentang retakan pada bahan material peswat terbang, hanyalah bisa dilakukan oleh seseorang yang berkarakter Habibie. Artinya semua terobosan di bidang2 keilmuan tadi, bukan melulu ditentukan oleh kemampuan dan keahlian teknisnya, namun sebuah sikap mental yang senantiasa kreatif, antusias serta memegang teguh komitmen.
Karakter yang membuat Bill Gates dan Mark Zukerberg dll, menjadi milyarder di usia muda. Seraya menjadi tokoh pembaharu dalam dunia komputer dan telekomunikasi dalam konteks jaring-jaring sosial interpersonal. Karakter yang membuat Sukarno mampu menyatukan visi kaum muda, pejuang bangsa ini untuk merdeka. Karakter yang membuat seorang Mohammad Ali menjadi yang terbesar dalam ring tinju, sekalipun dia bukan sosok yang selalu menjadi pemenang.
Jadi wajar, jika sistem pendidikan kita semestinya, bukan hanya ditujukan pada melulu penguasaan atas disiplin ilmu( technical expertise ), yang bersifat hardkills, namun juga pendidikan karakter yang berada di ranah softskills. Terminologi sistem pendidikan, hanya menjadi sah, jika dalam sistem senantiasa ada unsur hardskills dan softskills. Ketika yang diajarkan hanya melulu hardskills maka seketika dia berubah menjadi pengajaran, yang tidak kurang dan tidak lebih kaya kursus. Hal yang sama saat ditarik ke lembaga / institusi pendidikan selaku wadah yang menaungi kedua aspek tadi.
Pak dosen, di ruang-ruang kuliah mengajarkan hardkills. Jelas mata kuliahnya, jelas buku panduannya, jelas metodanya, jelas variabel dan parameter evaluatornya. Sebuah kegiatan intra kurikuler, yang sudah disusun sedemikian rupa, teruji dan sahih untuk diterapkan bagi para mahasiswa. Sementara softskills, tak ada dosen, tak ada buku panduan, kekaburan variabel dan parameter, dan satu satunya metoda hanyalah partisi-patorik. Alias nyebur pada realitas sesungguhnya, lalu menangkap hikmah esensiel dari setiap realitas dan kejadian. Semua itu dibebankan pada kegiata ekstra kurikuler, dalam bentuk Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) selaku wadah penyaluran untuk minat dan bakat mahasiswa. Mapala adalah salah satu UKM tadi.
Jaman dulu ….
Mahasiswa nyaris tak ada beban durasi penyelesaian waktu kuliah. Ada yang 5 tahun selesai, ada 7 tahun, 10 sampai 20 tahun, sampai keluar sebutan mahasiswa abadi. Mapala sendiri sering dipelesetkan sebagai Mahasiswa Paling Lama, he he.
Jaman berubah, ….
Batasan waktu diterapkan semakin menyempit. Dari waktu gimane elu, lalu bergeser ke 7 tahun dan sekarang hanya 5 - 6 tahun saja. Lembaga perguruan tinggi secara guyon berubah menjadi lembaga untuk “mengeluarkan mahasiswa”. Dengan pilihan lulus terhormat, atau drop out ( DO ) karena melebihi limit batas waktu. Namun hasilnya sama, yaitu dikeluarkan dari lembaga pendidikan. Alasan klasik biasanya adalah yaitu untuk memberikan ruang kesempatan belajar pada adik-adiknya yang sudah berada dalam antrian masuk.
Merubah pola pembelajaran yang tadinya berdurasi panjang, menjadi sedemikian ketat, jelas membutuhkan usaha. Sistem intra kurikuler ditata ulang. Dosen ditatar ulang, administrasi dilengkapi, absensi menjadi mutlak, metoda, sarana, kurikulum, dll., dilakukan penyesuaian ulang. Dan itu semua membutuhkan kerja keras, usaha dan dana yang tidak sedikit.
Persoalan dimulai dari sini …..
Ketika intra kurikuler yang menyertakan sekian banyak penggunaan resources, baik orang, keahlian, waktu, biaya, sarana, modifikasi. Bagaimana dengan kegiatan ekstra kurikuler ? . Adakah pihak yang cukup concern, yang cukup punya kepedulian, untuk mengurusi wilayah ini ?. Ada berapa banyak biaya / cost maupun investasi, untuk komponen hardskills, yang kelak melahirkan technical expertise ?. Seberapa besar usaha yang dilakukan, untuk juga melakukan ajusment dalam wilayah softskills. Sebuah ranah yang kelak akan melahirkan KARAKTER ?.
Dilema pendidikan masa kini adalah ….,
kita mencurahkan 85% biaya, tenaga, sarana, waktu , dll., untuk hal yang berkontribusi 15% saja dalam keberhasilan dalam hidup, yaitu kehalian dalam bidang keilmuan. Disisi lain, kita hanya menyediakan 15% saja energi yang ada, untuk suatu hal yang berkontribusi justru sebesar 85% bagi kesuksesan dalam hidup, yaitu pendidikan karakter . …. !!!
Artinya ….
Jika pendidikan tinggi kita anggap sebagai basis bagi pendidikan karakter, yaitu dengan tujuan keberhasilan dalam hidup pasca kuliah. Maka beban tersebut sesungguhnya terletak pada wilayah ekstra kurikuler, ketika softskills diajarkan dengan intensif. Dimana nilai nilai tentang sikap militansi, pantang menyerah, mengelola konflik, setia kawan, esprit de corps, dll, yang akan membentuk nilai-nilai pribadi yang berkarakter positip. Celakanya justru bagian signifikan ini seringkali hanya mendapatkan remah-remah saja. Asal jadi, kurang perhatian, sering diabaikan, yang penting ada ….
Mapala adalah yang paling celaka ….
Sebagai sebuah organisasi pembelajaran ( the learning organization ), harus memikul beban 85% fungsi dan peran sistem dan institusi pendidikan untuk mencetak pribadi yang berkarakter. Sementara dukungan sarana hanya 15% saja, itupun harus dibagi bagi dengan UKM yang lainnya.
Dulu para anggota mapala yang notabene lama menjadi aktifis kampus, setidaknya punya pengalaman dan jam terbang tinggi sebelum lulus dan menjadi alumni. Jam terbang 5 , 6 , 7 tahun, atau sekian kali pula melakukan pendidikan dasar, membuat mereka lebih trampil, karena pengalaman2 nya. Saat ini mereka hanya diperbolehkan kuliah 5 tahun saja, atau paling banter jam terbang mereka dalam dunia ke Pecinta-alaman rata-rata hanya 2 – 3 tahun saja. Padahal bebannya tak berubah. Karena desain pendidikan mapala saat ini, masih banyak mengacu pada pola, ketika jam terbang mahasiswa anggotanya masih mencukupi.
Pernahkah ada instrumen dari lembaga pendidikan tinggi yang menyadari hal ini ? . Pernahkah ada re-evaluasi, re-analisa, re-desain, re-ajusment, … lebih penting lagi, adakah re-thinking dari para pemegang otoritas sistem pendidikan tinggi, pada kegiatan ekstra kurikuler ? . Dimana hal itu merupakan penyaluaran minat dan bakat mahasiswa . Jikapun ada gaungnya entah kemana ….
Lalu, adik-adik yang masih muda belia, yang masih miskin pengalaman, yang masih kurang dalam jam terbang, yang masih meraba-raba dalam pencarian makna serta nilai, diberi beban yang teramat berat dipundaknya. Harus menanggung beban 85% pembentukan karakter di institusi pendidikannya. Yang semestinya, secara proporsional harus menjadi tanggungan dari sang institusi sendiri. Kecuali jika mereka berani menyatakan bahwa lembaganya bukan lembaga pendidikan, namun hanya lembaga pengajaran saja, dimana softskills dianggap tak lagi penting. Yang menganggap menjadi pintar lebih tujuan utama, ketimbang menjadi orang bujaksana yang berkarakter,
Tuntutan , beban tanggung jawab, sarana terbatas, jam terbang minim, digaji juga tidak, tidak ada imbalan apapun. Jika berhasil tak ada tepok tangan. Namun jika terjadi kesalahan dan kegagalan, bahkan konsekwensinya ditanggung oleh pribadi nya sendiri, termasuk harus masuk dalam kerangkeng berjeruji besi. Bahkan tak jarang pemegang otoritas sendiripun cuci tangan. Tak kurang pula yang lalu ikut ikutan menunjuk kalian layaknya penjahat kriminal….
Adik-adik ku ….
Ketika pertama kalian datang ke ruang sekre, dengan sukarela mendaftarkan diri. Tak ada paksaan dari siapapun. Kecuali ada sebuah kesadaran bahwa negeri ini butuh sosok sosok tegar dalam badai cobaan.
Adik adik ku ….
Ketika ransel puluhan kilo itu mulai diangkat dipundak. Ketika punggungan terjal itu mulai dilangkahi, ketika badai hujan dan kabut diterobos, ketika goresan luka mulai menghiasi tubuh, ketika siksaan rasa dingin menembus ketulang sumsum, ketika rasa haus dan lapar mulai bertalu, ketika , ketika, ketika …. Syal itu dikalungkan dileher, sebuah momen saat kalian memasuki sebuah komunitas baru. Selamat datang adik adikku !
Adik adik ku ….
Dua minggu kalian masuk dalam gunung hutan, sekian bulan kalian akan memasuki masa bimbingan, sampai kalian diakui menjadi anggota penuh. Namun perjuangan belum selesai. Ada tugas baru yang jauh lebih berat lagi. Memikul beban 85% pembinaan karakter, dengan kemampuan dan bekal seadanya. Memikul fungsi, peran dan tanggung jawab institusi, dengan biaya dan konsekwensi ditanggung sendiri ….
Mestinya hanya tinggal dua pilihan, yaitu kalian adalah orang-orang luar biasa, atau … orang gila !
Ada sedikit cerita
Sebuah mobil mendadak bannya kempes. Sang sopir keluar dan menggantinya dengan ban cadangan dari bagasi. Saat ban sudah didongkrak, ban serep dipasangkan, mendadak semua bautnya jatuh kedalam got yang dihalangi jeruji besi. Baut tak bisa diambil, dan pa sopir kebingungan karena tak ada baut untuk mengencangkan ban serepnya.
Dia celingukan, dan baru sadar saat itu dia berhenti tepat disebelah rumah sakit jiwa. Dari sebuah jendela berjeruji, nampak seorang pasien memperhatikannya, yang kemudian menggapai pada pa sopir.
Ah ngapain nyamperin orang gila, … pikir pa sopir
Pa sopir bingung ya bagaimana cara masang ban serep … begitu kata pasien jiwa, membuat pak sopir tercengang, karena pikirannya bisa ditebak. Sebelum pak sopir menjawab, sang pasien kembali nyerocos ….
Pa sopir, gampang kok .. sekarang dari 3 ban yang ada, ambil bautnya satu satu. Lumayan tuh ngumpul 3 biji, nah pasangin di ban serep, yang penting mobil bisa jalan, entar didepan ada bengkel, tinggal beli saja baut baru untuk menggenapkan lagi jumlah bautnya ….
He he .. bener juga pikiran si pasien ini, dan pa sopir melakukannya , sebelum pergi si pak sopir nampaknya penasaran banget sama si pasien ini .. lalu dia bertanya …
Pak , kalau bapak sepandai itu, mengapa bisa masuk rumah sakit jiwa ? … tanyanya
Si pasien tertawa, lalu menggamit, agar pa sopir datang mendekat…
Gini pa sopir, … katanya sambil berbisik bisik .. janji ya pa sopir jangan ngomong ke siapa-siapa
Iya siap deh … kata pa sopir sambil memasang kuping, mendengar bisikan sang pasien
Ssst,… gini pa sopir, saya masuk kesini, …karena saya gila, dan bukan karena bodoh !!!
Hormat, respek, penghargaan yang setinggi tingginya, bagi kalian adik-adik ku di seluruh mapala negeri ini. Siap menanggung seluruh resiko yang ada hanya berbekal niat karena tujuan mulia. Jauh dari bayaran, jauh dari tepuk tangan, jauh dari pujian , padahal resikonya penjara !!!. Maka tepatlah jika kalian adalah garda terakhir bangsa ini.
Kalian memang gila
Tapi samasekali tidak bodoh
Yat Lessie
( Kondisi mapala di Indonesia )
Gila ….
Itu kata pertama yang harus saya garis bawahi.
Berdasarkan banyak penelitian, konon seseorang sukses itu ditentukan 15% oleh technical expertise nya ( keahlian teknis ), sementara 85% ditentukan oleh karakter, alias Positive Mental Attitude (PMA). Ada banyak orang yang IQ nya lebih tinggi dan lebih jenius dari Einstein, tapi untuk menjadi se kreatif Einstein, hanyalah the only Einstein. Ada banyak ahli penerbangan di dunia ini, tapi Mr. crack hanyalah seorang Habibie. Titik.
Ada banyak fisikawan terkemuka didunia ini, tapi yang melahirkan E=mc2 hanyalah seseorang yang berkarakter Einstein. Tak kurang ahli dirgantara dan penerbangan, tapi teori tentang retakan pada bahan material peswat terbang, hanyalah bisa dilakukan oleh seseorang yang berkarakter Habibie. Artinya semua terobosan di bidang2 keilmuan tadi, bukan melulu ditentukan oleh kemampuan dan keahlian teknisnya, namun sebuah sikap mental yang senantiasa kreatif, antusias serta memegang teguh komitmen.
Karakter yang membuat Bill Gates dan Mark Zukerberg dll, menjadi milyarder di usia muda. Seraya menjadi tokoh pembaharu dalam dunia komputer dan telekomunikasi dalam konteks jaring-jaring sosial interpersonal. Karakter yang membuat Sukarno mampu menyatukan visi kaum muda, pejuang bangsa ini untuk merdeka. Karakter yang membuat seorang Mohammad Ali menjadi yang terbesar dalam ring tinju, sekalipun dia bukan sosok yang selalu menjadi pemenang.
Jadi wajar, jika sistem pendidikan kita semestinya, bukan hanya ditujukan pada melulu penguasaan atas disiplin ilmu( technical expertise ), yang bersifat hardkills, namun juga pendidikan karakter yang berada di ranah softskills. Terminologi sistem pendidikan, hanya menjadi sah, jika dalam sistem senantiasa ada unsur hardskills dan softskills. Ketika yang diajarkan hanya melulu hardskills maka seketika dia berubah menjadi pengajaran, yang tidak kurang dan tidak lebih kaya kursus. Hal yang sama saat ditarik ke lembaga / institusi pendidikan selaku wadah yang menaungi kedua aspek tadi.
Pak dosen, di ruang-ruang kuliah mengajarkan hardkills. Jelas mata kuliahnya, jelas buku panduannya, jelas metodanya, jelas variabel dan parameter evaluatornya. Sebuah kegiatan intra kurikuler, yang sudah disusun sedemikian rupa, teruji dan sahih untuk diterapkan bagi para mahasiswa. Sementara softskills, tak ada dosen, tak ada buku panduan, kekaburan variabel dan parameter, dan satu satunya metoda hanyalah partisi-patorik. Alias nyebur pada realitas sesungguhnya, lalu menangkap hikmah esensiel dari setiap realitas dan kejadian. Semua itu dibebankan pada kegiata ekstra kurikuler, dalam bentuk Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) selaku wadah penyaluran untuk minat dan bakat mahasiswa. Mapala adalah salah satu UKM tadi.
Jaman dulu ….
Mahasiswa nyaris tak ada beban durasi penyelesaian waktu kuliah. Ada yang 5 tahun selesai, ada 7 tahun, 10 sampai 20 tahun, sampai keluar sebutan mahasiswa abadi. Mapala sendiri sering dipelesetkan sebagai Mahasiswa Paling Lama, he he.
Jaman berubah, ….
Batasan waktu diterapkan semakin menyempit. Dari waktu gimane elu, lalu bergeser ke 7 tahun dan sekarang hanya 5 - 6 tahun saja. Lembaga perguruan tinggi secara guyon berubah menjadi lembaga untuk “mengeluarkan mahasiswa”. Dengan pilihan lulus terhormat, atau drop out ( DO ) karena melebihi limit batas waktu. Namun hasilnya sama, yaitu dikeluarkan dari lembaga pendidikan. Alasan klasik biasanya adalah yaitu untuk memberikan ruang kesempatan belajar pada adik-adiknya yang sudah berada dalam antrian masuk.
Merubah pola pembelajaran yang tadinya berdurasi panjang, menjadi sedemikian ketat, jelas membutuhkan usaha. Sistem intra kurikuler ditata ulang. Dosen ditatar ulang, administrasi dilengkapi, absensi menjadi mutlak, metoda, sarana, kurikulum, dll., dilakukan penyesuaian ulang. Dan itu semua membutuhkan kerja keras, usaha dan dana yang tidak sedikit.
Persoalan dimulai dari sini …..
Ketika intra kurikuler yang menyertakan sekian banyak penggunaan resources, baik orang, keahlian, waktu, biaya, sarana, modifikasi. Bagaimana dengan kegiatan ekstra kurikuler ? . Adakah pihak yang cukup concern, yang cukup punya kepedulian, untuk mengurusi wilayah ini ?. Ada berapa banyak biaya / cost maupun investasi, untuk komponen hardskills, yang kelak melahirkan technical expertise ?. Seberapa besar usaha yang dilakukan, untuk juga melakukan ajusment dalam wilayah softskills. Sebuah ranah yang kelak akan melahirkan KARAKTER ?.
Dilema pendidikan masa kini adalah ….,
kita mencurahkan 85% biaya, tenaga, sarana, waktu , dll., untuk hal yang berkontribusi 15% saja dalam keberhasilan dalam hidup, yaitu kehalian dalam bidang keilmuan. Disisi lain, kita hanya menyediakan 15% saja energi yang ada, untuk suatu hal yang berkontribusi justru sebesar 85% bagi kesuksesan dalam hidup, yaitu pendidikan karakter . …. !!!
Artinya ….
Jika pendidikan tinggi kita anggap sebagai basis bagi pendidikan karakter, yaitu dengan tujuan keberhasilan dalam hidup pasca kuliah. Maka beban tersebut sesungguhnya terletak pada wilayah ekstra kurikuler, ketika softskills diajarkan dengan intensif. Dimana nilai nilai tentang sikap militansi, pantang menyerah, mengelola konflik, setia kawan, esprit de corps, dll, yang akan membentuk nilai-nilai pribadi yang berkarakter positip. Celakanya justru bagian signifikan ini seringkali hanya mendapatkan remah-remah saja. Asal jadi, kurang perhatian, sering diabaikan, yang penting ada ….
Mapala adalah yang paling celaka ….
Sebagai sebuah organisasi pembelajaran ( the learning organization ), harus memikul beban 85% fungsi dan peran sistem dan institusi pendidikan untuk mencetak pribadi yang berkarakter. Sementara dukungan sarana hanya 15% saja, itupun harus dibagi bagi dengan UKM yang lainnya.
Dulu para anggota mapala yang notabene lama menjadi aktifis kampus, setidaknya punya pengalaman dan jam terbang tinggi sebelum lulus dan menjadi alumni. Jam terbang 5 , 6 , 7 tahun, atau sekian kali pula melakukan pendidikan dasar, membuat mereka lebih trampil, karena pengalaman2 nya. Saat ini mereka hanya diperbolehkan kuliah 5 tahun saja, atau paling banter jam terbang mereka dalam dunia ke Pecinta-alaman rata-rata hanya 2 – 3 tahun saja. Padahal bebannya tak berubah. Karena desain pendidikan mapala saat ini, masih banyak mengacu pada pola, ketika jam terbang mahasiswa anggotanya masih mencukupi.
Pernahkah ada instrumen dari lembaga pendidikan tinggi yang menyadari hal ini ? . Pernahkah ada re-evaluasi, re-analisa, re-desain, re-ajusment, … lebih penting lagi, adakah re-thinking dari para pemegang otoritas sistem pendidikan tinggi, pada kegiatan ekstra kurikuler ? . Dimana hal itu merupakan penyaluaran minat dan bakat mahasiswa . Jikapun ada gaungnya entah kemana ….
Lalu, adik-adik yang masih muda belia, yang masih miskin pengalaman, yang masih kurang dalam jam terbang, yang masih meraba-raba dalam pencarian makna serta nilai, diberi beban yang teramat berat dipundaknya. Harus menanggung beban 85% pembentukan karakter di institusi pendidikannya. Yang semestinya, secara proporsional harus menjadi tanggungan dari sang institusi sendiri. Kecuali jika mereka berani menyatakan bahwa lembaganya bukan lembaga pendidikan, namun hanya lembaga pengajaran saja, dimana softskills dianggap tak lagi penting. Yang menganggap menjadi pintar lebih tujuan utama, ketimbang menjadi orang bujaksana yang berkarakter,
Tuntutan , beban tanggung jawab, sarana terbatas, jam terbang minim, digaji juga tidak, tidak ada imbalan apapun. Jika berhasil tak ada tepok tangan. Namun jika terjadi kesalahan dan kegagalan, bahkan konsekwensinya ditanggung oleh pribadi nya sendiri, termasuk harus masuk dalam kerangkeng berjeruji besi. Bahkan tak jarang pemegang otoritas sendiripun cuci tangan. Tak kurang pula yang lalu ikut ikutan menunjuk kalian layaknya penjahat kriminal….
Adik-adik ku ….
Ketika pertama kalian datang ke ruang sekre, dengan sukarela mendaftarkan diri. Tak ada paksaan dari siapapun. Kecuali ada sebuah kesadaran bahwa negeri ini butuh sosok sosok tegar dalam badai cobaan.
Adik adik ku ….
Ketika ransel puluhan kilo itu mulai diangkat dipundak. Ketika punggungan terjal itu mulai dilangkahi, ketika badai hujan dan kabut diterobos, ketika goresan luka mulai menghiasi tubuh, ketika siksaan rasa dingin menembus ketulang sumsum, ketika rasa haus dan lapar mulai bertalu, ketika , ketika, ketika …. Syal itu dikalungkan dileher, sebuah momen saat kalian memasuki sebuah komunitas baru. Selamat datang adik adikku !
Adik adik ku ….
Dua minggu kalian masuk dalam gunung hutan, sekian bulan kalian akan memasuki masa bimbingan, sampai kalian diakui menjadi anggota penuh. Namun perjuangan belum selesai. Ada tugas baru yang jauh lebih berat lagi. Memikul beban 85% pembinaan karakter, dengan kemampuan dan bekal seadanya. Memikul fungsi, peran dan tanggung jawab institusi, dengan biaya dan konsekwensi ditanggung sendiri ….
Mestinya hanya tinggal dua pilihan, yaitu kalian adalah orang-orang luar biasa, atau … orang gila !
Ada sedikit cerita
Sebuah mobil mendadak bannya kempes. Sang sopir keluar dan menggantinya dengan ban cadangan dari bagasi. Saat ban sudah didongkrak, ban serep dipasangkan, mendadak semua bautnya jatuh kedalam got yang dihalangi jeruji besi. Baut tak bisa diambil, dan pa sopir kebingungan karena tak ada baut untuk mengencangkan ban serepnya.
Dia celingukan, dan baru sadar saat itu dia berhenti tepat disebelah rumah sakit jiwa. Dari sebuah jendela berjeruji, nampak seorang pasien memperhatikannya, yang kemudian menggapai pada pa sopir.
Ah ngapain nyamperin orang gila, … pikir pa sopir
Pa sopir bingung ya bagaimana cara masang ban serep … begitu kata pasien jiwa, membuat pak sopir tercengang, karena pikirannya bisa ditebak. Sebelum pak sopir menjawab, sang pasien kembali nyerocos ….
Pa sopir, gampang kok .. sekarang dari 3 ban yang ada, ambil bautnya satu satu. Lumayan tuh ngumpul 3 biji, nah pasangin di ban serep, yang penting mobil bisa jalan, entar didepan ada bengkel, tinggal beli saja baut baru untuk menggenapkan lagi jumlah bautnya ….
He he .. bener juga pikiran si pasien ini, dan pa sopir melakukannya , sebelum pergi si pak sopir nampaknya penasaran banget sama si pasien ini .. lalu dia bertanya …
Pak , kalau bapak sepandai itu, mengapa bisa masuk rumah sakit jiwa ? … tanyanya
Si pasien tertawa, lalu menggamit, agar pa sopir datang mendekat…
Gini pa sopir, … katanya sambil berbisik bisik .. janji ya pa sopir jangan ngomong ke siapa-siapa
Iya siap deh … kata pa sopir sambil memasang kuping, mendengar bisikan sang pasien
Ssst,… gini pa sopir, saya masuk kesini, …karena saya gila, dan bukan karena bodoh !!!
Hormat, respek, penghargaan yang setinggi tingginya, bagi kalian adik-adik ku di seluruh mapala negeri ini. Siap menanggung seluruh resiko yang ada hanya berbekal niat karena tujuan mulia. Jauh dari bayaran, jauh dari tepuk tangan, jauh dari pujian , padahal resikonya penjara !!!. Maka tepatlah jika kalian adalah garda terakhir bangsa ini.
Kalian memang gila
Tapi samasekali tidak bodoh
Yat Lessie
Tulisan yg berdasarkan fakta. Hidup mapala Indonesia
BalasHapusTetaplah seperti itu,, karna itu yang terbaik...
BalasHapusDan itulah kami.. Salam lestari
BalasHapusBerbanggalah kita sebagai anak MAPALA
BalasHapusBerbanggalah kita sebagai anak MAPALA
BalasHapusTerimakasih MaPaLa... Alam memang liar tapi kami bukan anak liar..
BalasHapusHidup mapala indonesia!
BalasHapus#MapalaBukanPembunuh