GALAU ….
Galau …
Sudah genap seminggu ini …..
pikiran dan perasaan penuh dengan kegalauan. Sudah bisa diduga bahwa penyebab utamanya adalah kejadian di Mapala Unisi Jogya. Kejadian yang mengakibatkan keterkagetan luar biasa, mendengar 3 siswa pendidikan dasar meninggal nyaris bersamaan waktunya. Untuk itu hanya bisa ikut berduka cita, dan diberi kekuatan iman bagi keluarga korban. Tetap tabah dan jadilah ksatria yang siap bertanggung jawab bagi para sohib di Unisi.
Galau …
Sudah genap seminggu ini …..
pikiran dan perasaan penuh dengan kegalauan. Sudah bisa diduga bahwa penyebab utamanya adalah kejadian di Mapala Unisi Jogya. Kejadian yang mengakibatkan keterkagetan luar biasa, mendengar 3 siswa pendidikan dasar meninggal nyaris bersamaan waktunya. Untuk itu hanya bisa ikut berduka cita, dan diberi kekuatan iman bagi keluarga korban. Tetap tabah dan jadilah ksatria yang siap bertanggung jawab bagi para sohib di Unisi.
Galau ….
mendengar sumpah serapah pada kelompok pecinta alam. Baik di tingkat mapala, sispala dan umum. Tuduhan selaku penjagal manusia, sampai penyebar kekerasan tak manusiawi, bak viral di media sosial. Apalagi dari mereka yang sejak awal sudah antipati, mending kalau hanya kritis tapi konstruktif untuk bertambah baik. Apalagi ketika media massa elektronik tak secara seimbang menyajikan data dan fakta.
Galau ….
Ketika sebuah statsiun TV nasional, bahkan sejak awal membuat wawancara. Semua nara sumber dianggap tokoh dibidangnya, diminta tampil bicara untuk menanggapi kejadian, yang sesungguhnya masih teramat mentah untuk disikapi. Bp Adiyaksa yang tokoh pramuka, bp Amriel yang ahli psikologi forensik, dan kang Yo yang ketua suku Mapala UI.
Galau ….
Saat yang ditanggapi adalah model pembinaan yang ber metoda “base-camp”. Tapi dengan segala rasa respek serta apresiasi, patut dipertanyakan wilayah kompetensinya. Pramuka jelas tak sama dengan pecinta alam. Model pembinaan sistem mentoring di Mapala UI, berbeda dengan pendekatan base-camp. Yang terakhir bp Amriel yang paling menohok, yaitu mengetengahkan makna “kekerasan” dalam pengertian yang sangat umum dan normatif, padahal seperti yang beliau akui sendiri, konon tak pernah tahu atau aktif dalam dunia kepecinta alaman.
Galau ….
Ketika semua pihak sepakat, bahwa segala jenis kekerasan harus dihentikan dalam dunia pendidikan. Baik diwilayah hardskills , yang jelas pelatih, buku, metoda kelas nya, demikian pula dengan wilayah softskills, dimana satu-satunya metoda hanyalah partisi-patorik, alias nyebur langsung pada realitasnya. Kekerasan harus dihentikan, baik yang bersifat fisik, emosi, mental, intelektual, sosial, verbal, dll.
Galau ….
Karena langsung membuat pikiran menjadi termangu-mangu. Bengong tak habis pikir karena makna esensial dari kekerasan itu sendiri tak pernah dibahas. Yang penting tak boleh terjadi kekerasan, dengan apapun alasannya, titik. Begitulah konon kesimpulan dari wawancara malam itu di statsiun TV. Karena jika yang dimaksud dengan kekerasan hasil pembicaraan sesuai dengan sang ahli psikologi forensik. Diri ini cilaka dua belas ….
Galau ….
Saat membayangkan saya masih jadi instruktur lapangan. Saat dibibir tebing dan siswa siap turun repeling kedasar tebing.
Tuan silahkan laporan … bentakku pada siswa yang tepat mulai menggantung dibibir tebing.
Lapor , nama anu, no siswa sekian, siap untuk euh … untuk turun teRRRbing … lapor siswa.
Ulangi lagi laporannya tuan … bentak ku sambil tepat memandang pada bola matanya.
Siswa kembali melapor, dan 3 kali kuminta ulang , ternyata tebing diucapkan teRbing, menandakan ada getaran rasa takut yang meniadakan kesiagaannya. Dari gerakan bola matanya, sang tuan siswa kehilangan konsentrasi.
Naik kembali, sikap sempurna , dan plak !!! … 4 jari tangan ( bukan telapak tangan ) menempeleng pipinya ( bukan dibawah telinga atau ujung rahang ), menghasilkan rasa pedas di pipi, dan suara keras ketelinganya. Sehingga membuat dia sepenuhnya SIAGA dan TERJAGA.
Tahu kesalahan tuan ? … teriak ku lagi
Tahu kang, saya tidak konsentrasi …. Jawabnya tegas
Tidak marah ? … tanyaku lagi
Tidak kang ? .. jawabnya
Tidak dendam ? …. Terusku
Siap … Tidak kang !!!, jawabnya tanpa ragu
Silahkan teruskan untuk repelling. Kali ini laporannya benar dan lancar. Aura getaran ketakutan hilang dan konsentrasinya pulih. Dia sampai kedasar jurang dengan selamat.
Galau ….
Ketika latihan pemantapan untuk anggota penuh, lagi lagi saat moutaineering. Seorang instruktur membuka anchor tali, padahal di jalur masih ada seorang anggota yang masih bergelantung. Untung anchornya dibuat 3 buah. Namun tak urung sempat terbanting sekitar 5 meter kedinding tebing, karena satu anchornya dilepas.
Plak … plak .. .plak … 3 tampran ke pipi …. tahu kesalahan senior ? ….tidak marah senior ? … tidak dendam senior ? …. Pertanyaan baku bagi siswa maupun anggota penuh.
Rabu pagi, tanggal 26 januari 2017 kemarin, saya di undang adik adik di Mapala Caldera Fak Mipa Unpad. Untuk memberikan kuliah pertama tentang doktrin Pecinta Alam bagi peserta pendidikan dasar caldera 2017.
Lalu ada sebuah pertanyaan dari peserta yang sangat menggelitik ….
Kang …. Pelajaran apa yang paling penting dari seluruh materi yang diberikan ? , setelah sekian detik mengunyah pertanyaan, setelah memeras sekian banyak memory dan pengalaman …
Pelajaran pertama dan utama dari ke Pecinta-alaman adalah tentang … KESIAGAAN dan KETERJAGAAN …
Siapapun yang berniat masuk kedalam dunia pecinta alam, seraya memasuki rimba belantara tergelap dan terdalam, senantiasa dihadapkan pada hukum KETIDAK-PASTIAN. Bahwa dalam setiap momen waktu, disana yang ada hanyalah “TIME-FRAME”. Tetap dalam batas, atau melewati frame waktu, hasilnya bisa selamat atau pulang dalam kantung mayat.
King cobra hanya memberi frame waktu 1 jam, sebelum jantung anda berhenti berdetak. Patukan kobra hanya 2 jam, ular belang 4 jam. Kehabisan makanan anda punya peluang 3 minggu, tapi tanpa air frame waktunya 3 hari. Hipotermia, hipoxia, High altitude mountain sickness ( pneumo dan cerebral edema ) , frame waktunya 1 – 2 hari. Menggantung sebelah tangan dibibir tebing, anda punya waktu menitan saya. Sedang 1 detik kehilangan konsentrasi dalam jeram, dijamin perahu bisa lebos terbalik.
Semua itu hanya bisa diatasi dengan kesiagaan dan keterjagaan belaka. Melamun, pikiran menerawang, kesadaran yang tak hadir, home-sick, cekaman rasa takut, kepanikan yang membabi buta, mabuk karena minuman dan obat-obatan adalah musuh utama. Pengabaian akan realitas disekililing menjadi ancaman sesungguhnya. Sama seperti halnya dengan ketidak sadaran pada konsep kekinian dan kedisinian, sehingga kita kehilangan pegangan pada diri yang tetap aktual, faktual, konseptual dan kontekstual.
Galau ….
Saat momen-momen tertentu yang paling krusial, yaitu untuk keberlangsungan sang hidup dirinya sendiri dan atau temannya, maka untuk mengembalikan kesiagaan dan keterjagaan itu harus dibarengi dengan bunyi “plak plak plak” dan rasa pedas dipipi. Sebuah tamparan “kekerasan” yang kini, konon tengah diperdebatkan dikalangan mereka yang ahli dalam bidang pendidikan. Karena buat saya pribadi, alangkah naifnya, jika harus menggunakan kata “ monggo tuan-tuan untuk turun tebing”, “dipersilahken untuk nahan lapar dalam survival”, … kelembutan yang mecelakakan bahkan bisa sangat mematikan. Ketika rasa iba dan kasihan diberlakukan tidak pada tempatnya, karena hanya takut dituduh menggunakan kekerasan dalam pendidikan.
Senyum …..
Saat dimasa kini, diujung usia yang mulai menua. Ketika kenangan menjelajah pelosok negeri, mendatangi lokasi bencana, melakukan pencarian dan pertolongan, mengulurkan bantuan ….
Lalu bunyi “plak” dan pedas dipipi itu … menjadi nyanyian paling merdu, menjadi momentum paling indah. Karena kekerasan tamparan itu hanya sekedar untuk mengingatkan .. tuan-tuan, nyawa anda dan rekan dalam taruhan. Jangan pernah abaikan realitas dan momentum sekecil apapun saat anda di alam terbuka …. Tamparan yang jauh dari amarah, apalagi dendam, sebaliknya .. sebuah penghargaan dan terima kasih dari lubuk hati. .. trims nyor, trims akang, teteh !
Semua juara berlatih dengan keras. Mereka yang berhasil dalam bidang apapun, paham dengan arti dan makna “kekerasan”, baik dalam berlatih, berfikir dan bertindak.
Balik lagi ke galau ….
Wahai para insan dan ahli pendidikan …. Boleh saya menyela ?
Apakah yang dimaksud dan dipertentangkan sekarang ini tentang KEKERASAN ataukah KEKASARAN ? ….. Kerasnya ibu dan ayah mendidik, menjadi saya seperti sekarang ini, kerasnya para instruktur dulu, membuat saya tetap survive sampai saat ini. Kerasnya para senior dulu, membuat organisasi kami tetap hidup dan zero-accident. Bukan sekedar survive saat pendidikan, namun kelak dalam pengembaraan pengembaraan yang jauh jauh jauh lebih berat lagi. Karena makna kekerasan disini adalah KETEGASAN yang jauh dari alay bin jablay.
Tetaplah keras namun konstruktif, karena jika destruktif, maka maknanya berubah menjadi KEKASARAN yang hanya akan menghasilkan FATALITAS belaka. Dimana tak seorangpun yang otaknya waras akan menyetujui.
Ingatlah … perasan keringat saat mengahadapi kekerasan dalam latihan. Jauh lebih baik, daripada kelembutan yang menyesatkan, yang menghasilkan isak tangis ketika jenazah dikirim dengan kantung mayat.
Karena pada saat itu
maka seribu isak, sejuta tangis
tak akan lagi berguna
Galau
Saat arti kekerasan dan kekasaran dicapur adukan
… hhhh
Yat Lessie
mendengar sumpah serapah pada kelompok pecinta alam. Baik di tingkat mapala, sispala dan umum. Tuduhan selaku penjagal manusia, sampai penyebar kekerasan tak manusiawi, bak viral di media sosial. Apalagi dari mereka yang sejak awal sudah antipati, mending kalau hanya kritis tapi konstruktif untuk bertambah baik. Apalagi ketika media massa elektronik tak secara seimbang menyajikan data dan fakta.
Galau ….
Ketika sebuah statsiun TV nasional, bahkan sejak awal membuat wawancara. Semua nara sumber dianggap tokoh dibidangnya, diminta tampil bicara untuk menanggapi kejadian, yang sesungguhnya masih teramat mentah untuk disikapi. Bp Adiyaksa yang tokoh pramuka, bp Amriel yang ahli psikologi forensik, dan kang Yo yang ketua suku Mapala UI.
Galau ….
Saat yang ditanggapi adalah model pembinaan yang ber metoda “base-camp”. Tapi dengan segala rasa respek serta apresiasi, patut dipertanyakan wilayah kompetensinya. Pramuka jelas tak sama dengan pecinta alam. Model pembinaan sistem mentoring di Mapala UI, berbeda dengan pendekatan base-camp. Yang terakhir bp Amriel yang paling menohok, yaitu mengetengahkan makna “kekerasan” dalam pengertian yang sangat umum dan normatif, padahal seperti yang beliau akui sendiri, konon tak pernah tahu atau aktif dalam dunia kepecinta alaman.
Galau ….
Ketika semua pihak sepakat, bahwa segala jenis kekerasan harus dihentikan dalam dunia pendidikan. Baik diwilayah hardskills , yang jelas pelatih, buku, metoda kelas nya, demikian pula dengan wilayah softskills, dimana satu-satunya metoda hanyalah partisi-patorik, alias nyebur langsung pada realitasnya. Kekerasan harus dihentikan, baik yang bersifat fisik, emosi, mental, intelektual, sosial, verbal, dll.
Galau ….
Karena langsung membuat pikiran menjadi termangu-mangu. Bengong tak habis pikir karena makna esensial dari kekerasan itu sendiri tak pernah dibahas. Yang penting tak boleh terjadi kekerasan, dengan apapun alasannya, titik. Begitulah konon kesimpulan dari wawancara malam itu di statsiun TV. Karena jika yang dimaksud dengan kekerasan hasil pembicaraan sesuai dengan sang ahli psikologi forensik. Diri ini cilaka dua belas ….
Galau ….
Saat membayangkan saya masih jadi instruktur lapangan. Saat dibibir tebing dan siswa siap turun repeling kedasar tebing.
Tuan silahkan laporan … bentakku pada siswa yang tepat mulai menggantung dibibir tebing.
Lapor , nama anu, no siswa sekian, siap untuk euh … untuk turun teRRRbing … lapor siswa.
Ulangi lagi laporannya tuan … bentak ku sambil tepat memandang pada bola matanya.
Siswa kembali melapor, dan 3 kali kuminta ulang , ternyata tebing diucapkan teRbing, menandakan ada getaran rasa takut yang meniadakan kesiagaannya. Dari gerakan bola matanya, sang tuan siswa kehilangan konsentrasi.
Naik kembali, sikap sempurna , dan plak !!! … 4 jari tangan ( bukan telapak tangan ) menempeleng pipinya ( bukan dibawah telinga atau ujung rahang ), menghasilkan rasa pedas di pipi, dan suara keras ketelinganya. Sehingga membuat dia sepenuhnya SIAGA dan TERJAGA.
Tahu kesalahan tuan ? … teriak ku lagi
Tahu kang, saya tidak konsentrasi …. Jawabnya tegas
Tidak marah ? … tanyaku lagi
Tidak kang ? .. jawabnya
Tidak dendam ? …. Terusku
Siap … Tidak kang !!!, jawabnya tanpa ragu
Silahkan teruskan untuk repelling. Kali ini laporannya benar dan lancar. Aura getaran ketakutan hilang dan konsentrasinya pulih. Dia sampai kedasar jurang dengan selamat.
Galau ….
Ketika latihan pemantapan untuk anggota penuh, lagi lagi saat moutaineering. Seorang instruktur membuka anchor tali, padahal di jalur masih ada seorang anggota yang masih bergelantung. Untung anchornya dibuat 3 buah. Namun tak urung sempat terbanting sekitar 5 meter kedinding tebing, karena satu anchornya dilepas.
Plak … plak .. .plak … 3 tampran ke pipi …. tahu kesalahan senior ? ….tidak marah senior ? … tidak dendam senior ? …. Pertanyaan baku bagi siswa maupun anggota penuh.
Rabu pagi, tanggal 26 januari 2017 kemarin, saya di undang adik adik di Mapala Caldera Fak Mipa Unpad. Untuk memberikan kuliah pertama tentang doktrin Pecinta Alam bagi peserta pendidikan dasar caldera 2017.
Lalu ada sebuah pertanyaan dari peserta yang sangat menggelitik ….
Kang …. Pelajaran apa yang paling penting dari seluruh materi yang diberikan ? , setelah sekian detik mengunyah pertanyaan, setelah memeras sekian banyak memory dan pengalaman …
Pelajaran pertama dan utama dari ke Pecinta-alaman adalah tentang … KESIAGAAN dan KETERJAGAAN …
Siapapun yang berniat masuk kedalam dunia pecinta alam, seraya memasuki rimba belantara tergelap dan terdalam, senantiasa dihadapkan pada hukum KETIDAK-PASTIAN. Bahwa dalam setiap momen waktu, disana yang ada hanyalah “TIME-FRAME”. Tetap dalam batas, atau melewati frame waktu, hasilnya bisa selamat atau pulang dalam kantung mayat.
King cobra hanya memberi frame waktu 1 jam, sebelum jantung anda berhenti berdetak. Patukan kobra hanya 2 jam, ular belang 4 jam. Kehabisan makanan anda punya peluang 3 minggu, tapi tanpa air frame waktunya 3 hari. Hipotermia, hipoxia, High altitude mountain sickness ( pneumo dan cerebral edema ) , frame waktunya 1 – 2 hari. Menggantung sebelah tangan dibibir tebing, anda punya waktu menitan saya. Sedang 1 detik kehilangan konsentrasi dalam jeram, dijamin perahu bisa lebos terbalik.
Semua itu hanya bisa diatasi dengan kesiagaan dan keterjagaan belaka. Melamun, pikiran menerawang, kesadaran yang tak hadir, home-sick, cekaman rasa takut, kepanikan yang membabi buta, mabuk karena minuman dan obat-obatan adalah musuh utama. Pengabaian akan realitas disekililing menjadi ancaman sesungguhnya. Sama seperti halnya dengan ketidak sadaran pada konsep kekinian dan kedisinian, sehingga kita kehilangan pegangan pada diri yang tetap aktual, faktual, konseptual dan kontekstual.
Galau ….
Saat momen-momen tertentu yang paling krusial, yaitu untuk keberlangsungan sang hidup dirinya sendiri dan atau temannya, maka untuk mengembalikan kesiagaan dan keterjagaan itu harus dibarengi dengan bunyi “plak plak plak” dan rasa pedas dipipi. Sebuah tamparan “kekerasan” yang kini, konon tengah diperdebatkan dikalangan mereka yang ahli dalam bidang pendidikan. Karena buat saya pribadi, alangkah naifnya, jika harus menggunakan kata “ monggo tuan-tuan untuk turun tebing”, “dipersilahken untuk nahan lapar dalam survival”, … kelembutan yang mecelakakan bahkan bisa sangat mematikan. Ketika rasa iba dan kasihan diberlakukan tidak pada tempatnya, karena hanya takut dituduh menggunakan kekerasan dalam pendidikan.
Senyum …..
Saat dimasa kini, diujung usia yang mulai menua. Ketika kenangan menjelajah pelosok negeri, mendatangi lokasi bencana, melakukan pencarian dan pertolongan, mengulurkan bantuan ….
Lalu bunyi “plak” dan pedas dipipi itu … menjadi nyanyian paling merdu, menjadi momentum paling indah. Karena kekerasan tamparan itu hanya sekedar untuk mengingatkan .. tuan-tuan, nyawa anda dan rekan dalam taruhan. Jangan pernah abaikan realitas dan momentum sekecil apapun saat anda di alam terbuka …. Tamparan yang jauh dari amarah, apalagi dendam, sebaliknya .. sebuah penghargaan dan terima kasih dari lubuk hati. .. trims nyor, trims akang, teteh !
Semua juara berlatih dengan keras. Mereka yang berhasil dalam bidang apapun, paham dengan arti dan makna “kekerasan”, baik dalam berlatih, berfikir dan bertindak.
Balik lagi ke galau ….
Wahai para insan dan ahli pendidikan …. Boleh saya menyela ?
Apakah yang dimaksud dan dipertentangkan sekarang ini tentang KEKERASAN ataukah KEKASARAN ? ….. Kerasnya ibu dan ayah mendidik, menjadi saya seperti sekarang ini, kerasnya para instruktur dulu, membuat saya tetap survive sampai saat ini. Kerasnya para senior dulu, membuat organisasi kami tetap hidup dan zero-accident. Bukan sekedar survive saat pendidikan, namun kelak dalam pengembaraan pengembaraan yang jauh jauh jauh lebih berat lagi. Karena makna kekerasan disini adalah KETEGASAN yang jauh dari alay bin jablay.
Tetaplah keras namun konstruktif, karena jika destruktif, maka maknanya berubah menjadi KEKASARAN yang hanya akan menghasilkan FATALITAS belaka. Dimana tak seorangpun yang otaknya waras akan menyetujui.
Ingatlah … perasan keringat saat mengahadapi kekerasan dalam latihan. Jauh lebih baik, daripada kelembutan yang menyesatkan, yang menghasilkan isak tangis ketika jenazah dikirim dengan kantung mayat.
Karena pada saat itu
maka seribu isak, sejuta tangis
tak akan lagi berguna
Galau
Saat arti kekerasan dan kekasaran dicapur adukan
… hhhh
Yat Lessie
Komentar
Posting Komentar