INTEPRETASI KODE ETIK PECINTA ALAM
Isi yang termaktub dalam Kode Etik Pecinta Alam, yang dirumuskan pada tahun 1974, pada kegiatan Gladian Nasional di Makassar, yaitu sbb :
1. Mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Memelihara Alam beserta isinya, serta menggunakan sumber sesuai dengan kebutuhan.
3. Menghormati tata kehidupan yang berlaku pada masyarakat sekitarnya serta menghargai manusia dengan kerabatnya.
4. Mengabdi pada Bangsa dan Tanah-Air.
5. Berusaha memperkuat tali persaudaraan antar Pecinta Alam, dengan azas Pecinta Alam.
6. Berusaha saling membantu serta saling menghargai dalam pelaksanaan pengabdian terhadap Tuhan, Bangsa dan Tanah-Air.
7. Selesai
INTERPRESTASI.
Mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Tidak lain dan tidak bukan, tujuan hidup kita dimuka bumi ini adalah dalam konsep untuk senantiasa mengabdi pada Allah, selaku hamba-hamba-Nya yang tunduk dan patuh pada hukum-hukum-Nya, atau sunatullah.
Pengabdian yang dilakukan atas dasar ketakwaan, dimana arti takwa bukan sebatas menghindari apa-apa yang dilarang-Nya, serta mengikuti apa yang disuruh-Nya semata, namun dalam pengertian yang lebih jauh lagi. Konsep pengabdian dalam kerangka takwa adalah, untuk senantiasa menjaga dan memelihara hubungan komunikasinya dengan Allah, karena hal itu merupakan pokok pijakannya yang utama dari konsep keimanan dalam dirinya.
Manusia dengan seluruh perangkat, peringkat serta predikat yang dimilikinya, hanya bersifat entitas relatif didepan Tuhan, dan seringkali tak bernilai apa-apa, kecuali manusia tadi mempunyai tingkat keimanan dan ketakwaan pada-Nya.
Entitas mutlak didepan Tuhan dari seorang manusia adalah hanya derajat keimanan dan ketakwaannya, dan kelak hal itu pula yang akan menentukan derajat sesungguhnya seorang manusia didepan Tuhannya. Pengabdian dalam konteks ketakwaan, adalah “menjaga” dan “memelihara” hubungan, dimana untuk menegakan tali hubungan tadi dibutuhkan sejumlah sarana, termasuk sistem kesadaran, ilmu dan pengetahuan.
Memelihara Alam beserta isinya, serta menggunakan sumber sesuai dengan kebutuhan.
Manusia diciptakan Tuhan dengan sebuah tujuan, yaitu menjadi khalifah dimuka bumi, dan rencana ini sudah digariskan bahkan ketika Adam AS diciptakan dalam surga. Sebagai bekal maka Adam AS diajarkan Allah berbagai hal mengenai alam semesta ini, yang kemudian di test oleh para malaikat dan merekapun hormat atas kemampuan Adam AS dalam menjawab berbagai pertanyaan para malaikat tadi. Adam dan keturunannya adalah khalifah, yang artinya setiap manusia telah dibekali Allah potensi yang sama seperti yang dimiliki oleh Adam ini, layaknya seorang khalifah yang bijak, maka faktor menjaga amanah / titipan adalah sebagai sesuatu yang harus diprioritaskan, yaitu menjaga dan memelihara alam semesta beserta isinya ini.
Seperti yang kita ketahui, manusia diciptakan oleh Allah dari saripati tanah, atau menjadi anak-anak asuh dari bumi yang merupakan ibu susu mereka, yang dibesarkan untuk menjadi putra-putra mahkota kekhalifahan di alam semesta ini. Bumi adalah ibu yang jujur dan sabar, yang mengajari anak-anak susunya untuk belajar mandiri, seraya menerima energinya untuk meningkatkan kekuatan, kepandaian, kecerdasan, dan kebijakan kesadarannya.
Seperti ibu kandung kita sendiri yang dengan sabar menyusui anak-anaknya, beliau tidak mengeluh ketika air susunya dihisap oleh bayinya, karena beliau tahu, betapa fungsi ASI selain memberikan kehidupan juga kesehatan dan kesejahteraan hidup dimasa yang akan datang. Layaknya seorang bayi pula, dia akan menghisap sebatas “secukupnya” yaitu ketika perutnya sudah kenyang maka diapun berhenti menghisap, sekalipun mungkin ASI ibu masih banyak, namun seorang bayi tahu sampai dimana tingkat kebutuhannya, dan dia hanya mengambil sebatas kebutuhannya tersebut tidak kurang dan tidak lebih.
Menghormati tata kehidupan yang berlaku pada masyarakat sekitarnya serta menghargai manusia dengan kerabatnya.
Diantara sejumlah anugerah yang diberikan Allah pada kita adalah hidup, akal dan agama, dan kewajiban manusia untuk senantiasa menghargai serta mempertahankan anugerah tadi, sekaligus sebagai tanda syukur nikmat manusia kepada Tuhannya. Kehidupan adalah anugerah, dan bahkan Tuhanpun siap dengan anomali atau penyimpangan dari hukumnya (sunatullah), demi untuk mempertahankan kehidupan mahluk-Nya ini.
Pernahkah terpikirkan, bahwa setiap materi ketika dibekukan maka dia akan lebih berat dibandingkan dengan zat sebelumnya ?. Zat yang membeku, baik yang asalnya gas maupun cairan, ketika membeku dan mengeras menjadi padat, maka dia akan lebih berat dari saat dia pada kondisi gas atau cairan, kecuali air !.
Air adalah anomali atau penyimpangan dari hukum tadi, karena air ketika dibekukan menjadi es, justru menjadi lebih ringan sehingga mengambang diatas permukaan air. Mampukah kita bayangkan, jika Tuhan memberlakukan hukum yang sama terhadap air, yaitu es tenggelam dalam air, dan akibatnya niscaya seluruh kehidupan bawah laut di kutub-kutub bumi pada saat musim dingin akan mati dan punah, karena tergencet oleh balok es yang tenggelam sampai kedasar.
Mengabdi pada Bangsa dan Tanah-Air.
Dimana bumi dipijak disana langit kita junjung, menyiratkan loyalitas sekaligus rasa syukur terhadap sebuah fondamen ideologis yang selama ini telah mendukung bangunan ujud integritas diri kita sendiri sebagai seorang anak bangsa ini. Bangsa dan tanah air menggambarkan suatu bentuk hubungan primordial antara manusia dengan bumi yang dipijaknya, dan langit yang dijunjungnya, atau dalam konteks sebuah kawasan dimana kita berada, serta konsep kebangsaan dimana aspek wawasan ditanamkan.
Dengan menghilangkan konsep kebangsaan dan tanah airnya, maka kita akan kehilangan identitas diri sebagai sebuah pelaku sejarah dalam derap peradaban yang dibangun oleh umat manusia.
Pada saat yang sama, kita juga akan mengalami degradasi integritas diri, dimana bangunan kesadaran kita pada sejarah primordial kita, hanya tinggal reruntuhan puing-puing memori, yang kadang tanpa makna atau cuma meninggalkan sepercik arti saja.
Mengabdi pada bangsa dan tanah air adalah sebuah manifestasi bahwa kita mempunyai akar sejarah, mempunyai jangkar yang cukup dalam terbenam dalam lautan peradaban dan budaya manusia, dimana kehilangan hal itu akan membuat kita menjadi gamang karena kehilangan ciri dan arti diri, seraya diombang-ambing dan dihempaskan oleh badai tantangan jamannya. Mengabdi pada bangsa dan tanah air, bukan hanya dipandang bagi kepentingan bangsa dan tanah air itu sendiri, namun secara hakikat adalah kita tengah mengabdi pada diri sendiri, karena bangsa itu adalah diri kita dan tanah air itu adalah saripati tanah, dimana asal ujud kita diciptakan. Menghianati bangsa dan tanah air, adalah berkhianat pada diri kita sendiri, yang secara perlahan dari bawah sadar muncul kekuatan negatip bagaikan monster yang mengancam, yaitu benci diri.
Benci diri adalah sumber penyakit manusia yang utama, sementara cinta diri adalah sumber kekuatan atau vitalitas diri, dimana menghargai dan mencintai diri sendiri akan menumbuhkan pemahaman tentang daya tarik diri, yang akan berujung pada adanya konsep harga diri.
Harga diri selaku individu jika dipelebar kedalam skala kelompok besar adalah kehormatan bangsa, atau kebanggaan atas bangsanya, lengkap dengan sejarah masa lampaunya, serta cita-cita kebangsaannya yang akan dijelmakan pada masa yang akan datang.
Bentuk pengabdian pada kelompok adalah juga pengabdian pada dirinya sendiri selaku anggota kelompok, sehingga manfaat secara kolektif maupun individual, secara langsung akan terasa. Pengabdian juga merupakan bentuk rasa syukur kita pada Sang Pencipta, dimana dengan adanya entitas primordial kita itu, maka kita tidak akan hilang tergerus oleh gemuruhnya peradaban global.
Berusaha memperkuat tali persaudaraan antar Pecinta Alam, dengan azas Pecinta Alam.
Hawa atau dorongan kecenderungan dari nafsu manusiawi adalah membuat jarak, atau adanya ruang pemisah antara dirinya dengan apapun disekitarnya. Nafsu membuat ruang, semata-mata demi kebutuhan sang nafsu untuk menujuk dirinya sendiri secara jujur, seraya menetapkan dirinya sebagai entitas mandiri dalam proses individualisasi.
Namun “hawa” nafsu justru membuat jarak dalam ruang tadi, sehingga pemisahan, keterpisahan (separateness) dan parsialisasi merupakan konsekwensi logis yang terjadi akibat adanya jarak tadi. Nafsu menolak rasa sakit dan mencari kesenangan semata, sekalipun cuma untuk kesenangan sesaat saja, dan bertanggung-jawab adalah sakit dan sama sekali tak menyenangkan, sehingga cenderung untuk ditolak.
Untuk menghilangkan tanggung-jawab atas dirinya, maka dia memecah dirinya sendiri, seraya pecahan-pecahan dari dirinya tadi dia serahkan pada pihak-pihak lain untuk dipertanggung-jawabkan.
Kesehatan adalah tanggung jawab dokter, kejiwaan adalah tanggung jawab psikolog, moralnya adalah tanggung jawab ustad atau pendeta, intelektualnya adalah tanggung jawag guru atau dosen, dan semua bagian dirinya dibagikan. Akhirnya dia samasekali tidak menyisakan sepotongpun bagian dari dirinya sendiri, dan oleh karenanya dia merasa sah untuk berpendapat bahwa dia tidak bertanggung jawab atas dirinya sendiri, karena tanggung jawab yang menyakitkan itu, sudah habis dibagikan pada pihak lain.
Dia bahkan tidak memiliki dirinya sendiri, karena dengan dirinya sendiripun sudah terbentang sebuah jarak. Serpihan dirinya yang dimiliki pihak lain, membuat dia melepaskan tanggung-jawab atas dirinya, dan itu membuat nafsunya terbebaskan dari rasa bertanggung-jawab yang menyakitkan.
Namun ketika dia tidak lagi memiliki dirinya sendiri, bahkan justru jarak-jarak yang tercipta, perlahan namun pasti menimbulkan bentuk kesakitan baru, yaitu dia merasa diasingkan, terasingkan, bahkan asing pada dirinya sendiri, yang tidak pernah dimilikinya. Padahal pada awal manusia hidup, maupun kelak saat menjemput kematian, kita lahir sendiri dan matipun akan sendiri pula, tanpa kawan dan sanak saudara, seolah kita menjadi terasingkan.
Pelajaran manusia akan keterasingan ini, seharusnya membuat mereka justru untuk lebih memahami konsep kebersamaan, karena fakta bahwa penyakit manusia yang utama muncul saat manusia merasa diasingkan (alienasi) oleh lingkungannya, bahkan oleh dirinya sendiri.
Kebersamaan adalah jalan positip menuju kesehatan jiwa dan kepribadian kita, dan proses awalnya dimulai dengan tidak memecah diri dan mengasingkannya, namun justru mengumpulkan semua pecahan tadi, menyatukannya dalam konsep ujud diri yang utuh, dan mencoba untuk belajar bertanggung jawab atas dirinya oleh dirinya sendiri.
Kita yang mengambil tampuk kemudi atas diri kita sendiri, dan diri kita adalah sesuatu yang utuh tidak terpisah-pisah, yang mempunyai identitas dan integritas diri. Manakala ujud diri yang utuh sudah terbentuk, dan kita secara sadar tidak lagi membagi diri, dan membuat jarak dengan diri sendiri, bahkan dengan berani mengambil tanggung-jawab atas keseluruhan diri kita, maka dimulailah suatu proses sadar, untuk menghilangkan jarak dengan sesuatu yang lain, diluar diri kita.
Sesuatu yang lain itu yang pertama-tama adalah saudara kita sesama Pecinta Alam, dimana kita disatukan antara satu dan yang lainnya oleh ikatan kesadaran kolektif yang sama, yaitu kecintaan terhadap alam yang kita tinggali ini, dan rasa kasih sayang pada bumi, ibu susu kita sendiri. Kesadaran kolektif yang sama, juga akan menumbuhkan benih rasa sayang, yang tergambarkan dalam ikatan persaudaraan secara tulus, iklas, dan yang pasti adalah bersifat alamiah, tanpa usah dengan tambahan polesan artifisial yang seringkali menipu.
Persaudaraan yang dibangun dalam wacana kegiatan di alam terbuka umumnya jauh lebih alamiah, sehingga tidak heran jika diantara sesama Pecinta Alam dengan cepat tumbuh keakraban dan kehangatan yang jarang dimiliki oleh persaudaraan antar kelompok yang lain.
Seringkali persaudaraan ini sedemikian kental, sehingga ketika salah seorang Pecinta Alam tersesat digunung, maka dengan serempak para Pecinta Alam berdatangan dari segenap penjuru belahan tanah air untuk ikut membantu mencari rekannya.
Seorang rekan yang bukan saudara, bahkan tidak dikenalnya secara pribadi, namun ketika mereka adalah sesama Pecinta Alam, maka untuk menemukan dan menyelamatkan hidup mereka yang hilang, maka keamanan diripun dipertaruhkan dengan iklas.
Betapa banyak operasi SAR yang memakan tenaga beratus orang Pecinta Alam selama berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan kadang lebih dari sebulan, mereka tinggal di base-camp atau pada team-team flying-camp dipelosok rimba, dengan tujuan semata menemukan korban secepatnya, agar jiwa mereka tertolong.
SAR ( Search and Rescue) adalah pengejawantahan dari rasa persaudaraan tadi, yang tidak dimiliki oleh kelompok lainnya, sehingga jiwa militan mereka sudah terlatih dan teruji dengan sendirinya, dan semuanya dikemas dalam sebuah konsep persaudaraan diantara sesama pecinta alam serta kerabat manusia yang lainnya.
Berusaha saling membantu serta saling menghargai dalam pelaksanaan pengabdian terhadap Tuhan, Bangsa dan Tanah-Air.
Pengabdian adalah muara dari aliran sungai kepecinta-alaman, yang akhirnya akan terjun lepas pada samudera kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan tujuan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya, baik pada lingkungan terkecil keluarga, maupun sampai dengan yang terbesar, yaitu skala ummat manusia.
Pengabdian yang paling utama adalah pada Tuhan, yang sepenuhnya didasari oleh rasa cinta yang tulus dan iklas, dan dengan basis cinta Tuhan tadi maka dibangun pula cinta bangsa serta cinta negara.
Rasa cinta yang bersifat idealistik abstrak memerlukan implementasi yang terkuantifikasi secara jelas, dan untuk itu diturunkan kedalam bentuk pengabdian, yaitu berupa program-program aplikatif yang relevan dengan dunia kepecinta-alaman. Adalah hal yang wajar jika setiap individu atau setiap kelompok Pecinta Alam di tanah air mempunyai obsesi atau keinginan untuk mengabdi pada agama, bangsa dan negaranya.
Sementara bentuk program pengabdian itu seringkali diwarnai oleh latar belakang kelompok itu sendiri, sehingga seringkali secara teknis bersifat sangat sektoral.
Pecinta alam dengan aneka ragam latar belakang kelompok, jenis pendidikan, sektor penguasaan, dll., membuat pengayaan program-program ini, dimulai dari peduli bencana alam, penghijauan lahan gundul, operasi SAR dan operasi kemanusiaan lain, pembuatan desa binaan, penelitian ilmiah dari berbagai sudut pandang dan disiplin keilmuan atas suatu wilayah, dll.
Semuanya adalah semata demi pengabdian pada tanah air yang dicintainya, yang sejak awal telah menjadi doktrin pokoknya, dan merupakan sumber inspirasional dari sikap militan serta energi vitalitas yang dikandungnya.
Namun demikian, seringkali juga kita mendapatkan fakta, antara cita-cita dan kemampuan tidaklah sebanding dihubungkan dengan sarana dan prasarana yang tersedia, sehingga hanya dengan uluran tangan sesama rekan saja, maka program-program tadi dapat dilaksanakan, dengan konsep saling membantu, menambal kebocoran, memperkuat kelemahan, dan menyediakan hal-hal yang tidak dapat diadakannya.
Kita sepenuhnya sadar bahwa siapapun itu, baik individu maupun kelompok pasti mempunyai sejumlah potensi kekuatan diri, namun juga mempunyai segi-segi kelemahan serta keterbatasannya.
Rangkuman dari Buku Intersection (Yayat Lessie)
Isi yang termaktub dalam Kode Etik Pecinta Alam, yang dirumuskan pada tahun 1974, pada kegiatan Gladian Nasional di Makassar, yaitu sbb :
1. Mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Memelihara Alam beserta isinya, serta menggunakan sumber sesuai dengan kebutuhan.
3. Menghormati tata kehidupan yang berlaku pada masyarakat sekitarnya serta menghargai manusia dengan kerabatnya.
4. Mengabdi pada Bangsa dan Tanah-Air.
5. Berusaha memperkuat tali persaudaraan antar Pecinta Alam, dengan azas Pecinta Alam.
6. Berusaha saling membantu serta saling menghargai dalam pelaksanaan pengabdian terhadap Tuhan, Bangsa dan Tanah-Air.
7. Selesai
INTERPRESTASI.
Mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Tidak lain dan tidak bukan, tujuan hidup kita dimuka bumi ini adalah dalam konsep untuk senantiasa mengabdi pada Allah, selaku hamba-hamba-Nya yang tunduk dan patuh pada hukum-hukum-Nya, atau sunatullah.
Pengabdian yang dilakukan atas dasar ketakwaan, dimana arti takwa bukan sebatas menghindari apa-apa yang dilarang-Nya, serta mengikuti apa yang disuruh-Nya semata, namun dalam pengertian yang lebih jauh lagi. Konsep pengabdian dalam kerangka takwa adalah, untuk senantiasa menjaga dan memelihara hubungan komunikasinya dengan Allah, karena hal itu merupakan pokok pijakannya yang utama dari konsep keimanan dalam dirinya.
Manusia dengan seluruh perangkat, peringkat serta predikat yang dimilikinya, hanya bersifat entitas relatif didepan Tuhan, dan seringkali tak bernilai apa-apa, kecuali manusia tadi mempunyai tingkat keimanan dan ketakwaan pada-Nya.
Entitas mutlak didepan Tuhan dari seorang manusia adalah hanya derajat keimanan dan ketakwaannya, dan kelak hal itu pula yang akan menentukan derajat sesungguhnya seorang manusia didepan Tuhannya. Pengabdian dalam konteks ketakwaan, adalah “menjaga” dan “memelihara” hubungan, dimana untuk menegakan tali hubungan tadi dibutuhkan sejumlah sarana, termasuk sistem kesadaran, ilmu dan pengetahuan.
Memelihara Alam beserta isinya, serta menggunakan sumber sesuai dengan kebutuhan.
Manusia diciptakan Tuhan dengan sebuah tujuan, yaitu menjadi khalifah dimuka bumi, dan rencana ini sudah digariskan bahkan ketika Adam AS diciptakan dalam surga. Sebagai bekal maka Adam AS diajarkan Allah berbagai hal mengenai alam semesta ini, yang kemudian di test oleh para malaikat dan merekapun hormat atas kemampuan Adam AS dalam menjawab berbagai pertanyaan para malaikat tadi. Adam dan keturunannya adalah khalifah, yang artinya setiap manusia telah dibekali Allah potensi yang sama seperti yang dimiliki oleh Adam ini, layaknya seorang khalifah yang bijak, maka faktor menjaga amanah / titipan adalah sebagai sesuatu yang harus diprioritaskan, yaitu menjaga dan memelihara alam semesta beserta isinya ini.
Seperti yang kita ketahui, manusia diciptakan oleh Allah dari saripati tanah, atau menjadi anak-anak asuh dari bumi yang merupakan ibu susu mereka, yang dibesarkan untuk menjadi putra-putra mahkota kekhalifahan di alam semesta ini. Bumi adalah ibu yang jujur dan sabar, yang mengajari anak-anak susunya untuk belajar mandiri, seraya menerima energinya untuk meningkatkan kekuatan, kepandaian, kecerdasan, dan kebijakan kesadarannya.
Seperti ibu kandung kita sendiri yang dengan sabar menyusui anak-anaknya, beliau tidak mengeluh ketika air susunya dihisap oleh bayinya, karena beliau tahu, betapa fungsi ASI selain memberikan kehidupan juga kesehatan dan kesejahteraan hidup dimasa yang akan datang. Layaknya seorang bayi pula, dia akan menghisap sebatas “secukupnya” yaitu ketika perutnya sudah kenyang maka diapun berhenti menghisap, sekalipun mungkin ASI ibu masih banyak, namun seorang bayi tahu sampai dimana tingkat kebutuhannya, dan dia hanya mengambil sebatas kebutuhannya tersebut tidak kurang dan tidak lebih.
Menghormati tata kehidupan yang berlaku pada masyarakat sekitarnya serta menghargai manusia dengan kerabatnya.
Diantara sejumlah anugerah yang diberikan Allah pada kita adalah hidup, akal dan agama, dan kewajiban manusia untuk senantiasa menghargai serta mempertahankan anugerah tadi, sekaligus sebagai tanda syukur nikmat manusia kepada Tuhannya. Kehidupan adalah anugerah, dan bahkan Tuhanpun siap dengan anomali atau penyimpangan dari hukumnya (sunatullah), demi untuk mempertahankan kehidupan mahluk-Nya ini.
Pernahkah terpikirkan, bahwa setiap materi ketika dibekukan maka dia akan lebih berat dibandingkan dengan zat sebelumnya ?. Zat yang membeku, baik yang asalnya gas maupun cairan, ketika membeku dan mengeras menjadi padat, maka dia akan lebih berat dari saat dia pada kondisi gas atau cairan, kecuali air !.
Air adalah anomali atau penyimpangan dari hukum tadi, karena air ketika dibekukan menjadi es, justru menjadi lebih ringan sehingga mengambang diatas permukaan air. Mampukah kita bayangkan, jika Tuhan memberlakukan hukum yang sama terhadap air, yaitu es tenggelam dalam air, dan akibatnya niscaya seluruh kehidupan bawah laut di kutub-kutub bumi pada saat musim dingin akan mati dan punah, karena tergencet oleh balok es yang tenggelam sampai kedasar.
Mengabdi pada Bangsa dan Tanah-Air.
Dimana bumi dipijak disana langit kita junjung, menyiratkan loyalitas sekaligus rasa syukur terhadap sebuah fondamen ideologis yang selama ini telah mendukung bangunan ujud integritas diri kita sendiri sebagai seorang anak bangsa ini. Bangsa dan tanah air menggambarkan suatu bentuk hubungan primordial antara manusia dengan bumi yang dipijaknya, dan langit yang dijunjungnya, atau dalam konteks sebuah kawasan dimana kita berada, serta konsep kebangsaan dimana aspek wawasan ditanamkan.
Dengan menghilangkan konsep kebangsaan dan tanah airnya, maka kita akan kehilangan identitas diri sebagai sebuah pelaku sejarah dalam derap peradaban yang dibangun oleh umat manusia.
Pada saat yang sama, kita juga akan mengalami degradasi integritas diri, dimana bangunan kesadaran kita pada sejarah primordial kita, hanya tinggal reruntuhan puing-puing memori, yang kadang tanpa makna atau cuma meninggalkan sepercik arti saja.
Mengabdi pada bangsa dan tanah air adalah sebuah manifestasi bahwa kita mempunyai akar sejarah, mempunyai jangkar yang cukup dalam terbenam dalam lautan peradaban dan budaya manusia, dimana kehilangan hal itu akan membuat kita menjadi gamang karena kehilangan ciri dan arti diri, seraya diombang-ambing dan dihempaskan oleh badai tantangan jamannya. Mengabdi pada bangsa dan tanah air, bukan hanya dipandang bagi kepentingan bangsa dan tanah air itu sendiri, namun secara hakikat adalah kita tengah mengabdi pada diri sendiri, karena bangsa itu adalah diri kita dan tanah air itu adalah saripati tanah, dimana asal ujud kita diciptakan. Menghianati bangsa dan tanah air, adalah berkhianat pada diri kita sendiri, yang secara perlahan dari bawah sadar muncul kekuatan negatip bagaikan monster yang mengancam, yaitu benci diri.
Benci diri adalah sumber penyakit manusia yang utama, sementara cinta diri adalah sumber kekuatan atau vitalitas diri, dimana menghargai dan mencintai diri sendiri akan menumbuhkan pemahaman tentang daya tarik diri, yang akan berujung pada adanya konsep harga diri.
Harga diri selaku individu jika dipelebar kedalam skala kelompok besar adalah kehormatan bangsa, atau kebanggaan atas bangsanya, lengkap dengan sejarah masa lampaunya, serta cita-cita kebangsaannya yang akan dijelmakan pada masa yang akan datang.
Bentuk pengabdian pada kelompok adalah juga pengabdian pada dirinya sendiri selaku anggota kelompok, sehingga manfaat secara kolektif maupun individual, secara langsung akan terasa. Pengabdian juga merupakan bentuk rasa syukur kita pada Sang Pencipta, dimana dengan adanya entitas primordial kita itu, maka kita tidak akan hilang tergerus oleh gemuruhnya peradaban global.
Berusaha memperkuat tali persaudaraan antar Pecinta Alam, dengan azas Pecinta Alam.
Hawa atau dorongan kecenderungan dari nafsu manusiawi adalah membuat jarak, atau adanya ruang pemisah antara dirinya dengan apapun disekitarnya. Nafsu membuat ruang, semata-mata demi kebutuhan sang nafsu untuk menujuk dirinya sendiri secara jujur, seraya menetapkan dirinya sebagai entitas mandiri dalam proses individualisasi.
Namun “hawa” nafsu justru membuat jarak dalam ruang tadi, sehingga pemisahan, keterpisahan (separateness) dan parsialisasi merupakan konsekwensi logis yang terjadi akibat adanya jarak tadi. Nafsu menolak rasa sakit dan mencari kesenangan semata, sekalipun cuma untuk kesenangan sesaat saja, dan bertanggung-jawab adalah sakit dan sama sekali tak menyenangkan, sehingga cenderung untuk ditolak.
Untuk menghilangkan tanggung-jawab atas dirinya, maka dia memecah dirinya sendiri, seraya pecahan-pecahan dari dirinya tadi dia serahkan pada pihak-pihak lain untuk dipertanggung-jawabkan.
Kesehatan adalah tanggung jawab dokter, kejiwaan adalah tanggung jawab psikolog, moralnya adalah tanggung jawab ustad atau pendeta, intelektualnya adalah tanggung jawag guru atau dosen, dan semua bagian dirinya dibagikan. Akhirnya dia samasekali tidak menyisakan sepotongpun bagian dari dirinya sendiri, dan oleh karenanya dia merasa sah untuk berpendapat bahwa dia tidak bertanggung jawab atas dirinya sendiri, karena tanggung jawab yang menyakitkan itu, sudah habis dibagikan pada pihak lain.
Dia bahkan tidak memiliki dirinya sendiri, karena dengan dirinya sendiripun sudah terbentang sebuah jarak. Serpihan dirinya yang dimiliki pihak lain, membuat dia melepaskan tanggung-jawab atas dirinya, dan itu membuat nafsunya terbebaskan dari rasa bertanggung-jawab yang menyakitkan.
Namun ketika dia tidak lagi memiliki dirinya sendiri, bahkan justru jarak-jarak yang tercipta, perlahan namun pasti menimbulkan bentuk kesakitan baru, yaitu dia merasa diasingkan, terasingkan, bahkan asing pada dirinya sendiri, yang tidak pernah dimilikinya. Padahal pada awal manusia hidup, maupun kelak saat menjemput kematian, kita lahir sendiri dan matipun akan sendiri pula, tanpa kawan dan sanak saudara, seolah kita menjadi terasingkan.
Pelajaran manusia akan keterasingan ini, seharusnya membuat mereka justru untuk lebih memahami konsep kebersamaan, karena fakta bahwa penyakit manusia yang utama muncul saat manusia merasa diasingkan (alienasi) oleh lingkungannya, bahkan oleh dirinya sendiri.
Kebersamaan adalah jalan positip menuju kesehatan jiwa dan kepribadian kita, dan proses awalnya dimulai dengan tidak memecah diri dan mengasingkannya, namun justru mengumpulkan semua pecahan tadi, menyatukannya dalam konsep ujud diri yang utuh, dan mencoba untuk belajar bertanggung jawab atas dirinya oleh dirinya sendiri.
Kita yang mengambil tampuk kemudi atas diri kita sendiri, dan diri kita adalah sesuatu yang utuh tidak terpisah-pisah, yang mempunyai identitas dan integritas diri. Manakala ujud diri yang utuh sudah terbentuk, dan kita secara sadar tidak lagi membagi diri, dan membuat jarak dengan diri sendiri, bahkan dengan berani mengambil tanggung-jawab atas keseluruhan diri kita, maka dimulailah suatu proses sadar, untuk menghilangkan jarak dengan sesuatu yang lain, diluar diri kita.
Sesuatu yang lain itu yang pertama-tama adalah saudara kita sesama Pecinta Alam, dimana kita disatukan antara satu dan yang lainnya oleh ikatan kesadaran kolektif yang sama, yaitu kecintaan terhadap alam yang kita tinggali ini, dan rasa kasih sayang pada bumi, ibu susu kita sendiri. Kesadaran kolektif yang sama, juga akan menumbuhkan benih rasa sayang, yang tergambarkan dalam ikatan persaudaraan secara tulus, iklas, dan yang pasti adalah bersifat alamiah, tanpa usah dengan tambahan polesan artifisial yang seringkali menipu.
Persaudaraan yang dibangun dalam wacana kegiatan di alam terbuka umumnya jauh lebih alamiah, sehingga tidak heran jika diantara sesama Pecinta Alam dengan cepat tumbuh keakraban dan kehangatan yang jarang dimiliki oleh persaudaraan antar kelompok yang lain.
Seringkali persaudaraan ini sedemikian kental, sehingga ketika salah seorang Pecinta Alam tersesat digunung, maka dengan serempak para Pecinta Alam berdatangan dari segenap penjuru belahan tanah air untuk ikut membantu mencari rekannya.
Seorang rekan yang bukan saudara, bahkan tidak dikenalnya secara pribadi, namun ketika mereka adalah sesama Pecinta Alam, maka untuk menemukan dan menyelamatkan hidup mereka yang hilang, maka keamanan diripun dipertaruhkan dengan iklas.
Betapa banyak operasi SAR yang memakan tenaga beratus orang Pecinta Alam selama berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan kadang lebih dari sebulan, mereka tinggal di base-camp atau pada team-team flying-camp dipelosok rimba, dengan tujuan semata menemukan korban secepatnya, agar jiwa mereka tertolong.
SAR ( Search and Rescue) adalah pengejawantahan dari rasa persaudaraan tadi, yang tidak dimiliki oleh kelompok lainnya, sehingga jiwa militan mereka sudah terlatih dan teruji dengan sendirinya, dan semuanya dikemas dalam sebuah konsep persaudaraan diantara sesama pecinta alam serta kerabat manusia yang lainnya.
Berusaha saling membantu serta saling menghargai dalam pelaksanaan pengabdian terhadap Tuhan, Bangsa dan Tanah-Air.
Pengabdian adalah muara dari aliran sungai kepecinta-alaman, yang akhirnya akan terjun lepas pada samudera kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan tujuan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya, baik pada lingkungan terkecil keluarga, maupun sampai dengan yang terbesar, yaitu skala ummat manusia.
Pengabdian yang paling utama adalah pada Tuhan, yang sepenuhnya didasari oleh rasa cinta yang tulus dan iklas, dan dengan basis cinta Tuhan tadi maka dibangun pula cinta bangsa serta cinta negara.
Rasa cinta yang bersifat idealistik abstrak memerlukan implementasi yang terkuantifikasi secara jelas, dan untuk itu diturunkan kedalam bentuk pengabdian, yaitu berupa program-program aplikatif yang relevan dengan dunia kepecinta-alaman. Adalah hal yang wajar jika setiap individu atau setiap kelompok Pecinta Alam di tanah air mempunyai obsesi atau keinginan untuk mengabdi pada agama, bangsa dan negaranya.
Sementara bentuk program pengabdian itu seringkali diwarnai oleh latar belakang kelompok itu sendiri, sehingga seringkali secara teknis bersifat sangat sektoral.
Pecinta alam dengan aneka ragam latar belakang kelompok, jenis pendidikan, sektor penguasaan, dll., membuat pengayaan program-program ini, dimulai dari peduli bencana alam, penghijauan lahan gundul, operasi SAR dan operasi kemanusiaan lain, pembuatan desa binaan, penelitian ilmiah dari berbagai sudut pandang dan disiplin keilmuan atas suatu wilayah, dll.
Semuanya adalah semata demi pengabdian pada tanah air yang dicintainya, yang sejak awal telah menjadi doktrin pokoknya, dan merupakan sumber inspirasional dari sikap militan serta energi vitalitas yang dikandungnya.
Namun demikian, seringkali juga kita mendapatkan fakta, antara cita-cita dan kemampuan tidaklah sebanding dihubungkan dengan sarana dan prasarana yang tersedia, sehingga hanya dengan uluran tangan sesama rekan saja, maka program-program tadi dapat dilaksanakan, dengan konsep saling membantu, menambal kebocoran, memperkuat kelemahan, dan menyediakan hal-hal yang tidak dapat diadakannya.
Kita sepenuhnya sadar bahwa siapapun itu, baik individu maupun kelompok pasti mempunyai sejumlah potensi kekuatan diri, namun juga mempunyai segi-segi kelemahan serta keterbatasannya.
Rangkuman dari Buku Intersection (Yayat Lessie)
Komentar
Posting Komentar