ITS NOW ... OR NEVER !!!
Lagu Elvis kah ? .....
Sama sekali bukan. ... tak mirip bunyi dendang buaian, karena yang ini genderang ancaman. Bukan sebaris lirik puisi cinta, namun setumpuk data fakta, tentang kemungkinan runtuhnya eksistensi dan kehormatan sebuah bangsa.
Fakta 1.
Pemerintah sudah mencanangkan ditahun 2019, pariwisata Indonesia akan dikatrol dari urutan 70 ke 30 dunia. Ratusan triliun rupiah diharapkan akan jadi gelontoran bagi APBN kita, khusus dari bidang pariwisata. 20 juta wisman, plus 275 juta wisnus jadi sasaran utama, total mendekati angka 300 juta. 60% berupa ekotourism, artinya 180 juta wisatawan. Jika dipukul rata, maka setiap hari ada sekitar 500 ribu orang wisatawan yang berkeliaran di jantung jantung belantara Indonesia.
Fakta 2.
Sudah menjadi aturan, sebuah wilayah ekotourism hanyalah bisa dibuka, ketika aspek safety tersedia. Dalam hal ini dibutuhkan sejumlah tenaga rescue ( SAR ) untuk menjaga kawasan wisata. Dengan mengambil asumsi 10 wisatawan di awasi oleh 1 tenaga rescue, maka setiap hari dibutuhkan 50 ribu orang rescuer. Dengan asumsi jam kerja hanya 12 jam, maka harus ada 2 shift. Artinya akan dibutuhkan tenaga rescuer sebanyak 100 ribu orang.
Fakta 3.
Tahun 2019, hanya tinggal 3 tahun lagi ( tahun 2017, 2018, 2019 ), alias 1000 hari kedepan. Dalam durasi itu, mesti disiapkan 100.000 orang rescuer. Dengan kata lain, harus ada sebuah mesin produksi pendidikan yang sanggup menghasilkan 100.000 orang dalam kurun 1000 hari, atau 100 orang tenaga rescue qualified per hari ...!!!. Pertanyaan krusial, adakah lembaga negara yang sanggup menghasilkan lulusan 100 orang perhari ? . Lembaga mana itu ? . Basarnas kah ? , wah jangan mimpi disiang bolong.
Fakta 4.
Kebijakan untuk th 2019 telah ditentukan, maka setiap sarana, daya, anggaran dan usaha ditujukan kesana. Kekurangan tenaga ahli rescue, dengan dibukanya sistem perdagangan bebas di Pasifik, maka salah satunya adalah mengambil tenaga profesional dari luar. Akan muncul antrian luar biasa, karena suka atau tidak, Indonesia negara kaya raya dalam ekotourism. Dengan 126 gunung api, maka Volcano tourism kita akan jadi jagonya. Dengan 17 ribu kepulauan, maka kita akan jadi juara dalam turisme kelautan. Dengan hutannya yang dikenal sebagai salah satu paru paru dunia ( selain amazon di Brasil ), maka belantara kita menjadi kampiun nya. Dengan 600 suku-suku yang ada, maka turisme budaya sulit dicari tandingannya.
Fakta 5.
Profesional akan datang lengkap dengan manajemennya. Yang sekalian bertindak selaku investor dengan mendatangkan kapital dari luar. Disatu sisi kita mengharapkan dan mengundang suntikan investasi mancanegara untuk menaikan tingkat pertumbuhan ekonomi makro. Investor asing butuh pengamanan, agar modal bisa kembali. Satu satunya jalan adalah dengan melakukan KONSESI kewilayahan. Pada saat itu, semua gunung, sungai, gua, hutan, pulau dan seluruh SDA kita akan habis dikonsesi pihak asing. Dengan mengandalkan unsur kongkalikong dengan pejabat-pejabat setempat, yang tengah euphoria dengan otonomisasi, melihatnya sebagai tumpukan dollar. Sedang penduduk setempat hanya menjadi penonton bengong, karena tak punya daya dan nilai tawar.
Fakta 6.
Disaat itu, disetiap daerah wisata akan ada loket penjual karcis. Orang asing, rescuer asing, guide asing, manajemen asing. Sebagian kecil penduduk setempat, paling kebagian remah-remah jadi porter alias kuli kasar. Sebagian besar pendapatan akan mengalir ke utara, sementara kita diselatan hanya akan kebagian polusinya. Polusi dan pencemaran lingkungan, polusi budaya individualisme, polusi budaya global yang menghilangkan kearifan lokal. Terlebih lagi polusi nilai, yaitu saat kita tak lagi peduli, bahwa yang di konsesi sesungguhnya adalah warisan tak ternilai dari para orang tua. Bahwa yang digerus dan dikuasai adalah wilayah moral, saat nilai-nilai kesejatian diganti dengan tumpukan dollar, lalu kita menganggapnya sebagai hal yang wajar.
Fakta 7.
Saat segala sesuatunya sudah ada dalam kendali. Ketika semuanya sudah dalam cengkraman sang penguasa. Waktu kapital lebih bernilai ketimbang harga manusia. Momen saat risk dan safety menjadi pigura, maka akan ada yang terbantai habis .... dia adalah jiwa-jiwa pioneering. Tak terbayangkan pioneer macam apa, jika mereka mengembara dengan dipandu guide. Pioneer macam bagaimana, jika mereka hanya berjalan di trak yang mulus tanpa hambatan. Pioneer kacangan yang bahkan tak mampu untuk out of the box, karena memang box nya sudah habis di konsesi.
Fakta 8.
Padahal para pioneer inilah yang mampu menggerakan warga setempat. Membentuk para volunteer, memetakan wilayah, menerapkan pola mitigasi, seraya menguasi informasi sampai ke detailnya. Para pioneer inilah yang akan menjadi BACK-BONE para warga volunteer, sekaligus tenaga rescuer yang handal. Sedang pada jaman the network-society ( masyarakat jaringan ), informasi menjadi segala-galanya. Penguasaan atas informasi sekaligus sebagai daya tawar, sebuah bargaining position bagi warga. Agar pihak penguasa dan kaum kapitalis tak mudah memarginalkan mereka. Hukum pasar bisa dilakukan, prinsip bahwa informasi hanya volunteer yang punya, sedang yang punya duit masih berjubel disana dalam antrian. Warga setempat punya kekuatan untuk menjatuhkan pilihan. Memilih investor yang bisa mensejahterakan semua warga, bukan sekedar dijadikan sapi perahan dengan biaya murah belaka. Dan bukan sebaliknya, kepentingan warga hanya jadi opsi dari sebuah kebijakan.
Fakta 9.
Dibutuhkan pioneer yang arif dan cerdas dalam memandang situasi. Mereka yang tidak silau dengan dollar, yang tak tergoda oleh harta dan kekuasaan. Bertujuan semata untuk mensejahterakan warga. Bercita-cita agar agar negara dan bangsa tetap menjaga kehormatannya. Sekalipun untuk itu dia rela berkorban dengan segala cara. Sebangsa orang gila, namun sama sekali tidak bodoh dalam memandang seluruh fakta dan realita. Seraya membuat rencana, membuat kalkulasi atas resiko, dan mengeksekusinya tanpa keraguan.
Fakta 10.
Silahkan sangkal jika bisa. Mesin produksi tenaga rescuer 100 orang perhari, itu hanya ada dalam kelompok Pecinta Alam, baik Mapala Sispala dan umum, yang tersebar merata dipelosok negeri. Mesin produksi yang bisa berjalan walau tanpa pasokan dana dan anggaran pemerintah. Pabrik dari manusia-manusia gila, namun tetap cerdas dalam menggunakan intuisi, rasa dan logika.
Mereka yang kelak akan jadi pioneer ulung. Berjibaku membuat volunteer, mengajak masayarakat untuk berperan serta. Dengan kreatif menginventarisasi seluruh potensi yang ada. Membuat informasi signifikan tetap dalam genggaman. Agar kelak akan dijadikan sebuah daya tawar, supaya warga tidak kembali terjerumus kedalam bentuk penjajahan, dimana uang menjadi berhala diatas segala-galanya.
Mereka yang tak peduli dengan tumpukan uang, karena yang paling utama, agar bangsa ini jangan kembali terjajah. Agar kita tak menjadi tamu di halaman rumah sendiri. Supaya dampak konsesi bisa ditekan ketingkat yang paling rendah.
Fakta 11.
Yang mudah-mudahan bukan fakta.
Dipucuk-pucuk pengambil kebijakan, ada orang-orang yang sebal pada keberadaan Mapala dan Sispala. Berupaya habis habisan untuk memberangusnya. Tunjang oleh sekelompok masyarakat yang gemar bermain aman. Didukung oleh media massa yang sangat suka menimbulkan kegeraman, seraya mengangkat isu-isu kontradiktif. Panggung pemeranan penjahat dan korban kejahatan, sehingga caci maki disembur tepat kemuka.
Siapa yang rugi ketika kelompok PA ini habis terbantai ?
Ketika para warga di pedalaman hanya dijadikan kuli buruhan. Saat kearifan lokal hanya jadi cerita guyonan. Ketika bencana datang, hanya cukup dibantu dengan sekarung baju bekas, uang sekedarnya dan tentu se dus mie-instan. Lantas kewajiban seolah sudah terselesaikan.
Siapa yang untung ketika kelompok PA ini mati perlahan ?
Pasti, mereka yang benci dengan sifat militan. Yang tak suka dengan kata loyalitas, karena bertabrakan dengan idiom sang kutu-loncat. Yakin, mereka yang melihat PA selaku dinamisator warga, sehingga bisa lebih kritis dalam memandang masalah. Mereka pula yang merasa terganggu karena tak lagi bisa semau-maunya bagi bagi uang hasil konsesi. Seraya menafikan kepentingan warga lokal. Dan yang pasti, mereka yang bertindak selaku agen asing, yang lebih suka melihat negaranya pecah dan habis dikonsesi. Yang siap menukar harga diri bangsa, dengan uang tumpukan milyaran dalam depositonya.
Kita hanya berharap .... wahai para pengambil kebijakan disana. Ibu menko, bapak mentri, dirjen, rektor, kepala sekolah . Lalu para penyidik, polisi, jaksa, hakim dan pembela, plus ditambah para pengelola media massa .... agar tetap proporsional dalam koridornya. Karena kita sama sama berjuang demi bangsa. Karena kita sama sama mewakili kepentingan warga negara, dan bukan kaum kapitalis dari dunia utara. Karena kita semua tahu persis, bahwa :
Tak usahlah kami bicara ketus
Namun saat jiwa jiwa pioner terberangus
Ketika pemimpin cuma berfikir fulus
Maka bangsa inipun akan terhapus
Menjadi santapan kaum kapitalis yang rakus
Sekarang waktunya pembuktian itu
bahwa kita ada, dan akan selalu tetap ada
Its now .. or never !!!
Yat Lessie
Lagu Elvis kah ? .....
Sama sekali bukan. ... tak mirip bunyi dendang buaian, karena yang ini genderang ancaman. Bukan sebaris lirik puisi cinta, namun setumpuk data fakta, tentang kemungkinan runtuhnya eksistensi dan kehormatan sebuah bangsa.
Fakta 1.
Pemerintah sudah mencanangkan ditahun 2019, pariwisata Indonesia akan dikatrol dari urutan 70 ke 30 dunia. Ratusan triliun rupiah diharapkan akan jadi gelontoran bagi APBN kita, khusus dari bidang pariwisata. 20 juta wisman, plus 275 juta wisnus jadi sasaran utama, total mendekati angka 300 juta. 60% berupa ekotourism, artinya 180 juta wisatawan. Jika dipukul rata, maka setiap hari ada sekitar 500 ribu orang wisatawan yang berkeliaran di jantung jantung belantara Indonesia.
Fakta 2.
Sudah menjadi aturan, sebuah wilayah ekotourism hanyalah bisa dibuka, ketika aspek safety tersedia. Dalam hal ini dibutuhkan sejumlah tenaga rescue ( SAR ) untuk menjaga kawasan wisata. Dengan mengambil asumsi 10 wisatawan di awasi oleh 1 tenaga rescue, maka setiap hari dibutuhkan 50 ribu orang rescuer. Dengan asumsi jam kerja hanya 12 jam, maka harus ada 2 shift. Artinya akan dibutuhkan tenaga rescuer sebanyak 100 ribu orang.
Fakta 3.
Tahun 2019, hanya tinggal 3 tahun lagi ( tahun 2017, 2018, 2019 ), alias 1000 hari kedepan. Dalam durasi itu, mesti disiapkan 100.000 orang rescuer. Dengan kata lain, harus ada sebuah mesin produksi pendidikan yang sanggup menghasilkan 100.000 orang dalam kurun 1000 hari, atau 100 orang tenaga rescue qualified per hari ...!!!. Pertanyaan krusial, adakah lembaga negara yang sanggup menghasilkan lulusan 100 orang perhari ? . Lembaga mana itu ? . Basarnas kah ? , wah jangan mimpi disiang bolong.
Fakta 4.
Kebijakan untuk th 2019 telah ditentukan, maka setiap sarana, daya, anggaran dan usaha ditujukan kesana. Kekurangan tenaga ahli rescue, dengan dibukanya sistem perdagangan bebas di Pasifik, maka salah satunya adalah mengambil tenaga profesional dari luar. Akan muncul antrian luar biasa, karena suka atau tidak, Indonesia negara kaya raya dalam ekotourism. Dengan 126 gunung api, maka Volcano tourism kita akan jadi jagonya. Dengan 17 ribu kepulauan, maka kita akan jadi juara dalam turisme kelautan. Dengan hutannya yang dikenal sebagai salah satu paru paru dunia ( selain amazon di Brasil ), maka belantara kita menjadi kampiun nya. Dengan 600 suku-suku yang ada, maka turisme budaya sulit dicari tandingannya.
Fakta 5.
Profesional akan datang lengkap dengan manajemennya. Yang sekalian bertindak selaku investor dengan mendatangkan kapital dari luar. Disatu sisi kita mengharapkan dan mengundang suntikan investasi mancanegara untuk menaikan tingkat pertumbuhan ekonomi makro. Investor asing butuh pengamanan, agar modal bisa kembali. Satu satunya jalan adalah dengan melakukan KONSESI kewilayahan. Pada saat itu, semua gunung, sungai, gua, hutan, pulau dan seluruh SDA kita akan habis dikonsesi pihak asing. Dengan mengandalkan unsur kongkalikong dengan pejabat-pejabat setempat, yang tengah euphoria dengan otonomisasi, melihatnya sebagai tumpukan dollar. Sedang penduduk setempat hanya menjadi penonton bengong, karena tak punya daya dan nilai tawar.
Fakta 6.
Disaat itu, disetiap daerah wisata akan ada loket penjual karcis. Orang asing, rescuer asing, guide asing, manajemen asing. Sebagian kecil penduduk setempat, paling kebagian remah-remah jadi porter alias kuli kasar. Sebagian besar pendapatan akan mengalir ke utara, sementara kita diselatan hanya akan kebagian polusinya. Polusi dan pencemaran lingkungan, polusi budaya individualisme, polusi budaya global yang menghilangkan kearifan lokal. Terlebih lagi polusi nilai, yaitu saat kita tak lagi peduli, bahwa yang di konsesi sesungguhnya adalah warisan tak ternilai dari para orang tua. Bahwa yang digerus dan dikuasai adalah wilayah moral, saat nilai-nilai kesejatian diganti dengan tumpukan dollar, lalu kita menganggapnya sebagai hal yang wajar.
Fakta 7.
Saat segala sesuatunya sudah ada dalam kendali. Ketika semuanya sudah dalam cengkraman sang penguasa. Waktu kapital lebih bernilai ketimbang harga manusia. Momen saat risk dan safety menjadi pigura, maka akan ada yang terbantai habis .... dia adalah jiwa-jiwa pioneering. Tak terbayangkan pioneer macam apa, jika mereka mengembara dengan dipandu guide. Pioneer macam bagaimana, jika mereka hanya berjalan di trak yang mulus tanpa hambatan. Pioneer kacangan yang bahkan tak mampu untuk out of the box, karena memang box nya sudah habis di konsesi.
Fakta 8.
Padahal para pioneer inilah yang mampu menggerakan warga setempat. Membentuk para volunteer, memetakan wilayah, menerapkan pola mitigasi, seraya menguasi informasi sampai ke detailnya. Para pioneer inilah yang akan menjadi BACK-BONE para warga volunteer, sekaligus tenaga rescuer yang handal. Sedang pada jaman the network-society ( masyarakat jaringan ), informasi menjadi segala-galanya. Penguasaan atas informasi sekaligus sebagai daya tawar, sebuah bargaining position bagi warga. Agar pihak penguasa dan kaum kapitalis tak mudah memarginalkan mereka. Hukum pasar bisa dilakukan, prinsip bahwa informasi hanya volunteer yang punya, sedang yang punya duit masih berjubel disana dalam antrian. Warga setempat punya kekuatan untuk menjatuhkan pilihan. Memilih investor yang bisa mensejahterakan semua warga, bukan sekedar dijadikan sapi perahan dengan biaya murah belaka. Dan bukan sebaliknya, kepentingan warga hanya jadi opsi dari sebuah kebijakan.
Fakta 9.
Dibutuhkan pioneer yang arif dan cerdas dalam memandang situasi. Mereka yang tidak silau dengan dollar, yang tak tergoda oleh harta dan kekuasaan. Bertujuan semata untuk mensejahterakan warga. Bercita-cita agar agar negara dan bangsa tetap menjaga kehormatannya. Sekalipun untuk itu dia rela berkorban dengan segala cara. Sebangsa orang gila, namun sama sekali tidak bodoh dalam memandang seluruh fakta dan realita. Seraya membuat rencana, membuat kalkulasi atas resiko, dan mengeksekusinya tanpa keraguan.
Fakta 10.
Silahkan sangkal jika bisa. Mesin produksi tenaga rescuer 100 orang perhari, itu hanya ada dalam kelompok Pecinta Alam, baik Mapala Sispala dan umum, yang tersebar merata dipelosok negeri. Mesin produksi yang bisa berjalan walau tanpa pasokan dana dan anggaran pemerintah. Pabrik dari manusia-manusia gila, namun tetap cerdas dalam menggunakan intuisi, rasa dan logika.
Mereka yang kelak akan jadi pioneer ulung. Berjibaku membuat volunteer, mengajak masayarakat untuk berperan serta. Dengan kreatif menginventarisasi seluruh potensi yang ada. Membuat informasi signifikan tetap dalam genggaman. Agar kelak akan dijadikan sebuah daya tawar, supaya warga tidak kembali terjerumus kedalam bentuk penjajahan, dimana uang menjadi berhala diatas segala-galanya.
Mereka yang tak peduli dengan tumpukan uang, karena yang paling utama, agar bangsa ini jangan kembali terjajah. Agar kita tak menjadi tamu di halaman rumah sendiri. Supaya dampak konsesi bisa ditekan ketingkat yang paling rendah.
Fakta 11.
Yang mudah-mudahan bukan fakta.
Dipucuk-pucuk pengambil kebijakan, ada orang-orang yang sebal pada keberadaan Mapala dan Sispala. Berupaya habis habisan untuk memberangusnya. Tunjang oleh sekelompok masyarakat yang gemar bermain aman. Didukung oleh media massa yang sangat suka menimbulkan kegeraman, seraya mengangkat isu-isu kontradiktif. Panggung pemeranan penjahat dan korban kejahatan, sehingga caci maki disembur tepat kemuka.
Siapa yang rugi ketika kelompok PA ini habis terbantai ?
Ketika para warga di pedalaman hanya dijadikan kuli buruhan. Saat kearifan lokal hanya jadi cerita guyonan. Ketika bencana datang, hanya cukup dibantu dengan sekarung baju bekas, uang sekedarnya dan tentu se dus mie-instan. Lantas kewajiban seolah sudah terselesaikan.
Siapa yang untung ketika kelompok PA ini mati perlahan ?
Pasti, mereka yang benci dengan sifat militan. Yang tak suka dengan kata loyalitas, karena bertabrakan dengan idiom sang kutu-loncat. Yakin, mereka yang melihat PA selaku dinamisator warga, sehingga bisa lebih kritis dalam memandang masalah. Mereka pula yang merasa terganggu karena tak lagi bisa semau-maunya bagi bagi uang hasil konsesi. Seraya menafikan kepentingan warga lokal. Dan yang pasti, mereka yang bertindak selaku agen asing, yang lebih suka melihat negaranya pecah dan habis dikonsesi. Yang siap menukar harga diri bangsa, dengan uang tumpukan milyaran dalam depositonya.
Kita hanya berharap .... wahai para pengambil kebijakan disana. Ibu menko, bapak mentri, dirjen, rektor, kepala sekolah . Lalu para penyidik, polisi, jaksa, hakim dan pembela, plus ditambah para pengelola media massa .... agar tetap proporsional dalam koridornya. Karena kita sama sama berjuang demi bangsa. Karena kita sama sama mewakili kepentingan warga negara, dan bukan kaum kapitalis dari dunia utara. Karena kita semua tahu persis, bahwa :
Tak usahlah kami bicara ketus
Namun saat jiwa jiwa pioner terberangus
Ketika pemimpin cuma berfikir fulus
Maka bangsa inipun akan terhapus
Menjadi santapan kaum kapitalis yang rakus
Sekarang waktunya pembuktian itu
bahwa kita ada, dan akan selalu tetap ada
Its now .. or never !!!
Yat Lessie
Komentar
Posting Komentar