SHUT UP
AND GET BACK IN THE BOX !
Sana gih ...
maen layangan dilapangan , mumpung kagak hujan dan anginnya kenceng. Emangnya, apa perlunya maen layangan ? . Husss , itu penting, buat naekin “jam-terbang” , alias nambah pengalaman .... he he
Itu persoalan kita yang sesungguhnya.
Jika jam terbang bisa ditambah hanya cukup maen layangan. Semua orang pasti sudah melakukannya. Jika jam terebang, bisa dinaekin cukup dengan nyanyi kasidahan dan memainkan alat terebang. Maka semua pihak pasti sudah melaksanakannya. Atau cukup bikin kapal-kapalan, lalu tiup pake mulut .. haah ..haah ... lepaskan mengapung ke udara. Kemudian itu pula yang dianggap sebagai jam terbang ....
Jika seorang mahasiswa pecinta alam bisa menaikan jam-terbang, cukup dengan memanjat papan panjat dihalaman kampus. Lalu alangkah mudahnya mendapatkan skills itu. Arung jeram cukup di kali. Susur gua cukup di gua jepang di dago Bandung. Suasana hutan cukup kemping di pinggir kampung. Penanganan bencana cukup bikin kegiatan di kampus, dengan pake sistem kencleng buat ngumpulin duit recehan, baju bekas dan tentu .. mie instan.
Jika ada pihak yang mempertanyakan , apa cukup begitu saja kegiatan Mapala itu. Maka para profesor dan pemegang otoritas di kampus akan segera berkilah ... emang siapa suruh Mapala memanjat tebing batu, menuruni gua-gua gelap terdalam, mengarungi jeram paling deras, memasuki rimba terganas. Siapa suruh pula ikut menangani musibah dan bencana alam. Bukankah disana sudah ada Badan dan lembaga pemerintah yang resmi. Mulai dari Basarnas sampa BNPB dan BPBD. Ngapain mencari-cari resiko yang bisa bikin repot semua orang.
Sang pemangku pendidikan akan terus berkilah ... Bukankah lembaga pendidikan bersifat hanya pembinaan. Selama 4 – 5 tahun disiapkan agar kelak menjadi sarjana. Melalui sistem pendidikan dengan mengandalkan metoda pembelajaran sistem kelas, diskusi, tanya jawab , dan yang paling paling paling banter , cukup dengan mengandalkan simulasi. Alias sebuah proses eksperimental learning. Sebuah metoda yang konsisten dilakukan dalam pengajaran hardkills di kelas, sampai kegiatan ekstra kurikuler pada lembaga-lembaga penyalur minat mahasiswa dalam UKM ... begitu mungkin jawaban dari pak mentri, pak dirjen sampai rektor dan para dosen.
Hasilnya, sudah bisa kita duga sejak semula. Lulusan perguruan tinggi kita levelnya baru sebatas “siap-tahu”, masih jauh dari “siap-pakai”. Karena metoda pembelajaran yang dipakai baru sebatas simulasi, alias eksperimental learning. Jadi masih memakai pendekatan bagaimana agar burung merpati supaya cerdas. Dimasukan kedalam sangkar, diberi 3 tombol dengan warna berbeda, dan merpati lantas jadi hapal, jika yang dipatuk tombol warna tertentu, maka akan mengeluarkan butiran jagung.
Itulah yang disebut kecerdasan sang burung, dalam pendekatan psikologi behaviouristik. Memakai pendekatan simulasi, yang konon untuk “meningkatkan” kecerdasan sang burung. Keberhasilan diukur dari seberapa besar kemampuan merpati dalam memilih sang tombol yang menguntungkan dirinya agar tetap survive.
Padahal, sangkar, ukuran, ruang terbuka, tertutup, jumlah tombol, warnanya dsb., semua berada dalam jaring-jaring kontrol, alias semua sudah serba terkendali, dalam batas-batas yang kita sebut dengan variabel dan parameter. Burung merpati, sebagai alumnus dari percobaan tadi, dianggap sebagai burung sarjana yang lebih cerdas dibanding burung yang lainnya. Hanya karena dia bisa memilih tombol yang tepat.
Mari kita lepas sang burung di alam bebas. Hasilnya dia pasti kebingungan, karena di alam ini ada puluhan, rartusan bahkan ribuan tombol. Semua tombol tadi entah siapa yang mengendalikannya. Setiap tombol bisa berupa hidup atau kematian. Bisa berupa oportunities atau threats yang mengancam kelangsungan hidupnya. Sang burung memang baru siap tahu, dan sama sekali tidak siap pakai, jika diterjunkan di alam bebas yang sesungguhnya. Karena metoda yang dipakai baru sebatas simulasi kandang sempit dan sederhana ....
Celakanya, jika pendekatan behaviouristik ini dipakai buat manusia, bernama mahasiswa. Dimana outputnya baru sebatas siap tahu. Yang menjadi siap pakai, ketika harus dididik ulang melalui sejumlah vocational training. Anda tak percaya ? ... silahkan tanya pada para pengusaha yang mempekerjakan mereka. Dimana harus ada sekian banyak effort, baik biaya, perhatian dan waktu, agar mereka siap pakai. Masih mending, jika sebatas hardskills / knowledge, yang bahkan embah google masih cukup cerdas untuk menjawab segala keingin tahuan.
Bagaimana jika dibawa ke ranah softskills ?
Bagaimana bentuk siap-tahu militansi, siap-tahu loyalitas, siap-tahu jiwa korsa, siap-tahu amanah, jujur, setia, kreatif, antusias .... semua nilai-nilai tadi baru siap tahu, dan bukan siap pakai. Akhirnya pasti sangat memelas. Bahkan bisa bikin orang mengurut dada. Pantas korupsi BLBI, bank century dan yang terakhir e-KTP yang konon 2,3 triliun itu terjadi. Karena semua pelakunya mestilah para alumnus pendidikan tinggi kita. Sedangkan sejak awal hasil dari pendidikan itu baru siap tahu, alias siap jujur, siap amanah, siap loyal. Samasekali belum jujur, belum amanah dan belum loyal.
Mapala menolak pendekatan ini .....
Pendekatan sistem pendidikan bukan hanya mengadalkan simulasi, namun masuk pada ekspidensial learning, melalui metoda partisi patorik. Langsung masuk pada pengalaman realitas nyata, bahkan ketika mereka masih dalam pendidikan dasar, pada saat gunung hutan.
Pak rektor, tebing batu 125 meter itu ada di citatah. Yang 400 meter ada di gunung parang, bukan hanya sekedar papan panjat 10 meter di halaman kampus. Pak dosen jeram deras itu ada di citarik, citarum, cimanuk, buka kali kecil di pinggir kampung.
Pak mentri, bencana kemanusiaan Sukhoi itu ada di jurang sedalam 500 meter gn Salak. Serakan tubuh yang hangus tercecer itu ada di Puntang saat pesawat merpati jatuh. Tubuh nyaris membusuk ada di pantai-pantai aceh waktu tsunami. Ribuan penduduk yang panik mau mengungsi itu ada di gn Papandayan. Mereka semua butuh uluran tangan yang nyata, yang siap berlepotan lumpur, keringat bahkan darah. Bukan sekedar kiriman simpati duit kencleng, baju bekas dan se dus mie instan.
Mapala menjadi kritis, karena pendidikan softskills yang mereka terima, bukan sekedar siap tahu, namun sudah SIAP-PAKAI . Mereka bukan siap militan, namun sudah militan. Mereka bukan siap loyal, namun sudah loyal dan paham dengan jiwa korsa. Mereka bukan siap untuk berbakti bagi sang negeri, namun sudah berkubang lumpur di bumi pertiwi.
Mapala adalah mahasiwa yang sudah out of the box dari sistem pendidikan tinggi kita, bahkan saat pendidikan dasar bagi adik-adiknya, mereka siap sebelah kakinya berada di penjara, karena di kriminalisasi.
Kepmen no 155/U/1998, bertanggal 30 juni 1998 masih berlaku hingga kini. Kepmen yang dibuat sangat terburu buru, karena berusia 40 hari setelah rezim Suharto tumbang tanggal 21 mei 1998. Dengan tujuan agar mahasiswa kembali dikandangkan ke kampus, seraya memutus jaringan dengan kakak-kakaknya para alumnus yang juga sangat kritis.
Mapala juga dianggap sebagai kelompok “minat”, seperti UKM yang lainnya. Padahal dari metoda , resiko, bentang jelajah, dll, jauh berbeda. Mereka lebih tepat ke “minat-khusus” , sehingga memerlukan pendekatan sistemik komprehensif yang juga bersifat khusus.
Jika tidak, maka sama saja dengan mengembalikan kaum muda kita untuk ....
Shut-up
and get back in the box !!!
-Yat Lessie-
AND GET BACK IN THE BOX !
Sana gih ...
maen layangan dilapangan , mumpung kagak hujan dan anginnya kenceng. Emangnya, apa perlunya maen layangan ? . Husss , itu penting, buat naekin “jam-terbang” , alias nambah pengalaman .... he he
Itu persoalan kita yang sesungguhnya.
Jika jam terbang bisa ditambah hanya cukup maen layangan. Semua orang pasti sudah melakukannya. Jika jam terebang, bisa dinaekin cukup dengan nyanyi kasidahan dan memainkan alat terebang. Maka semua pihak pasti sudah melaksanakannya. Atau cukup bikin kapal-kapalan, lalu tiup pake mulut .. haah ..haah ... lepaskan mengapung ke udara. Kemudian itu pula yang dianggap sebagai jam terbang ....
Jika seorang mahasiswa pecinta alam bisa menaikan jam-terbang, cukup dengan memanjat papan panjat dihalaman kampus. Lalu alangkah mudahnya mendapatkan skills itu. Arung jeram cukup di kali. Susur gua cukup di gua jepang di dago Bandung. Suasana hutan cukup kemping di pinggir kampung. Penanganan bencana cukup bikin kegiatan di kampus, dengan pake sistem kencleng buat ngumpulin duit recehan, baju bekas dan tentu .. mie instan.
Jika ada pihak yang mempertanyakan , apa cukup begitu saja kegiatan Mapala itu. Maka para profesor dan pemegang otoritas di kampus akan segera berkilah ... emang siapa suruh Mapala memanjat tebing batu, menuruni gua-gua gelap terdalam, mengarungi jeram paling deras, memasuki rimba terganas. Siapa suruh pula ikut menangani musibah dan bencana alam. Bukankah disana sudah ada Badan dan lembaga pemerintah yang resmi. Mulai dari Basarnas sampa BNPB dan BPBD. Ngapain mencari-cari resiko yang bisa bikin repot semua orang.
Sang pemangku pendidikan akan terus berkilah ... Bukankah lembaga pendidikan bersifat hanya pembinaan. Selama 4 – 5 tahun disiapkan agar kelak menjadi sarjana. Melalui sistem pendidikan dengan mengandalkan metoda pembelajaran sistem kelas, diskusi, tanya jawab , dan yang paling paling paling banter , cukup dengan mengandalkan simulasi. Alias sebuah proses eksperimental learning. Sebuah metoda yang konsisten dilakukan dalam pengajaran hardkills di kelas, sampai kegiatan ekstra kurikuler pada lembaga-lembaga penyalur minat mahasiswa dalam UKM ... begitu mungkin jawaban dari pak mentri, pak dirjen sampai rektor dan para dosen.
Hasilnya, sudah bisa kita duga sejak semula. Lulusan perguruan tinggi kita levelnya baru sebatas “siap-tahu”, masih jauh dari “siap-pakai”. Karena metoda pembelajaran yang dipakai baru sebatas simulasi, alias eksperimental learning. Jadi masih memakai pendekatan bagaimana agar burung merpati supaya cerdas. Dimasukan kedalam sangkar, diberi 3 tombol dengan warna berbeda, dan merpati lantas jadi hapal, jika yang dipatuk tombol warna tertentu, maka akan mengeluarkan butiran jagung.
Itulah yang disebut kecerdasan sang burung, dalam pendekatan psikologi behaviouristik. Memakai pendekatan simulasi, yang konon untuk “meningkatkan” kecerdasan sang burung. Keberhasilan diukur dari seberapa besar kemampuan merpati dalam memilih sang tombol yang menguntungkan dirinya agar tetap survive.
Padahal, sangkar, ukuran, ruang terbuka, tertutup, jumlah tombol, warnanya dsb., semua berada dalam jaring-jaring kontrol, alias semua sudah serba terkendali, dalam batas-batas yang kita sebut dengan variabel dan parameter. Burung merpati, sebagai alumnus dari percobaan tadi, dianggap sebagai burung sarjana yang lebih cerdas dibanding burung yang lainnya. Hanya karena dia bisa memilih tombol yang tepat.
Mari kita lepas sang burung di alam bebas. Hasilnya dia pasti kebingungan, karena di alam ini ada puluhan, rartusan bahkan ribuan tombol. Semua tombol tadi entah siapa yang mengendalikannya. Setiap tombol bisa berupa hidup atau kematian. Bisa berupa oportunities atau threats yang mengancam kelangsungan hidupnya. Sang burung memang baru siap tahu, dan sama sekali tidak siap pakai, jika diterjunkan di alam bebas yang sesungguhnya. Karena metoda yang dipakai baru sebatas simulasi kandang sempit dan sederhana ....
Celakanya, jika pendekatan behaviouristik ini dipakai buat manusia, bernama mahasiswa. Dimana outputnya baru sebatas siap tahu. Yang menjadi siap pakai, ketika harus dididik ulang melalui sejumlah vocational training. Anda tak percaya ? ... silahkan tanya pada para pengusaha yang mempekerjakan mereka. Dimana harus ada sekian banyak effort, baik biaya, perhatian dan waktu, agar mereka siap pakai. Masih mending, jika sebatas hardskills / knowledge, yang bahkan embah google masih cukup cerdas untuk menjawab segala keingin tahuan.
Bagaimana jika dibawa ke ranah softskills ?
Bagaimana bentuk siap-tahu militansi, siap-tahu loyalitas, siap-tahu jiwa korsa, siap-tahu amanah, jujur, setia, kreatif, antusias .... semua nilai-nilai tadi baru siap tahu, dan bukan siap pakai. Akhirnya pasti sangat memelas. Bahkan bisa bikin orang mengurut dada. Pantas korupsi BLBI, bank century dan yang terakhir e-KTP yang konon 2,3 triliun itu terjadi. Karena semua pelakunya mestilah para alumnus pendidikan tinggi kita. Sedangkan sejak awal hasil dari pendidikan itu baru siap tahu, alias siap jujur, siap amanah, siap loyal. Samasekali belum jujur, belum amanah dan belum loyal.
Mapala menolak pendekatan ini .....
Pendekatan sistem pendidikan bukan hanya mengadalkan simulasi, namun masuk pada ekspidensial learning, melalui metoda partisi patorik. Langsung masuk pada pengalaman realitas nyata, bahkan ketika mereka masih dalam pendidikan dasar, pada saat gunung hutan.
Pak rektor, tebing batu 125 meter itu ada di citatah. Yang 400 meter ada di gunung parang, bukan hanya sekedar papan panjat 10 meter di halaman kampus. Pak dosen jeram deras itu ada di citarik, citarum, cimanuk, buka kali kecil di pinggir kampung.
Pak mentri, bencana kemanusiaan Sukhoi itu ada di jurang sedalam 500 meter gn Salak. Serakan tubuh yang hangus tercecer itu ada di Puntang saat pesawat merpati jatuh. Tubuh nyaris membusuk ada di pantai-pantai aceh waktu tsunami. Ribuan penduduk yang panik mau mengungsi itu ada di gn Papandayan. Mereka semua butuh uluran tangan yang nyata, yang siap berlepotan lumpur, keringat bahkan darah. Bukan sekedar kiriman simpati duit kencleng, baju bekas dan se dus mie instan.
Mapala menjadi kritis, karena pendidikan softskills yang mereka terima, bukan sekedar siap tahu, namun sudah SIAP-PAKAI . Mereka bukan siap militan, namun sudah militan. Mereka bukan siap loyal, namun sudah loyal dan paham dengan jiwa korsa. Mereka bukan siap untuk berbakti bagi sang negeri, namun sudah berkubang lumpur di bumi pertiwi.
Mapala adalah mahasiwa yang sudah out of the box dari sistem pendidikan tinggi kita, bahkan saat pendidikan dasar bagi adik-adiknya, mereka siap sebelah kakinya berada di penjara, karena di kriminalisasi.
Kepmen no 155/U/1998, bertanggal 30 juni 1998 masih berlaku hingga kini. Kepmen yang dibuat sangat terburu buru, karena berusia 40 hari setelah rezim Suharto tumbang tanggal 21 mei 1998. Dengan tujuan agar mahasiswa kembali dikandangkan ke kampus, seraya memutus jaringan dengan kakak-kakaknya para alumnus yang juga sangat kritis.
Mapala juga dianggap sebagai kelompok “minat”, seperti UKM yang lainnya. Padahal dari metoda , resiko, bentang jelajah, dll, jauh berbeda. Mereka lebih tepat ke “minat-khusus” , sehingga memerlukan pendekatan sistemik komprehensif yang juga bersifat khusus.
Jika tidak, maka sama saja dengan mengembalikan kaum muda kita untuk ....
Shut-up
and get back in the box !!!
-Yat Lessie-
Komentar
Posting Komentar