MEWARNAI BUNG !!!
BUKAN DIWARNAI ...
Mewarnai ...
Memberi warna, sebuah sentuhan yang kita lakukan, untuk memberi nuansa baru yang lebih kaya pada pihak lain. Memberikan opsi berfikir dan sudut pandang serta cara pandang baru, atau yang selama ini terlupakan atau terabaikan. Warna yang selama ini kita miliki, dijadikan sebuah pembekalan pada pihak yang lainnya.
Warna itu adalah ruh, sebuah value system yang telah kita pahami selama sekian lama. Yang telah kita rasakan sendiri, betapa manfaatnya bagi pribadi, maupun komunitas. Sebuah pengetahuan yang bermanfaat tentang kedirian, tentang kompetensi dan keahlian serta sikap mental ( attitude ), dalam melihat setiap realitas dan kejadian. Posisinya, kita yang memberi warna pada mereka.
Diwarnai ...
Yaitu ketika nilai-nilai alami kita, dijejali oleh nilai-nilai lain yang hidup diluar sana. Beberapa yang mungkin kompatibel, sedang yang lainnya sama sekali tidak, bahkan bisa jadi kontradiktif. Diwarnai artinya kita memberikan peluang bagi agen-agen dari luar sana untuk “menyusup” dan melakukan infiltrasi kedalam komunitas. Lalu memberi mereka peluang untuk melakukan infiltrasi kognitif dan afektif. Sehingga nilai-nilai kultural serta primordial kita, tanpa terasa perlahan tergeser pada nilai-nilai mereka, sang pemberi warna, yang konon baru. Posisinya , kita yang diberi warna oleh mereka.
Padahal
Sejak awal kita sepakat. Siapapun yang sudah menjadi Pecinta Alam, maka dia akan menjadi Pecinta alam selamanya. Sekalipun saat sang kehidupan bisa saja memberi mereka peranan yang beragam dalam masyarakat. Sebuah lakon kehidupan yang protagonis, bahkan antagonis sekalipun. Diluar sana, seorang PA, bisa menjadi pengusaha kaya raya. Bisa menjadi pejabat publik yang berhasil. Bisa menjadi guru, dosen, konselor, atau sekedar kuli kasar apapun juga.
Bisa saja dalam roda kehidupan, mereka terjebak dalam epos menjadi orang-orang buangan yang termarginalkan. Menjadi preman, penjudi atau pemabukan, sebutkan saja apapun itu. Namun satu hal yang sudah kita sepakati bersama. Saat memasuki ruang sekretariat, maka satu satu system nilai yang boleh dipakai, hanyalah system nilai Pecinta Alam. Titik.
Kang .... mestinya organisasi Pecinta Alam dijaman now ini, bisa mulai untuk lebih komersiel lagi. Beliau ini anggota PA yang berhasil jadi pengusaha kaya. Dia menginginkan agar organisasi PA berubah menjadi organisasi yang profit oriented. Dia bermaksud mewarnai, nilai-nilai sosial kemasyarakatan PA menjadi system nilai jual-beli layaknya pedagang. Tentu saya tolak.
Kang .... gimana kalau kita gunakan kedekatan personil kita dengan para pejabat, kita gunakan untuk organisasi guna mendapatkan proyek pembangunan di daerah. Saya katakan maaf, tak berniat merubah system nilai PA oleh system nilai para kontraktor, sekalipun mendapat profit finansial tak sedikit. Rupanya sang anggota ini sudah lama menjadi kontraktor, dan menginginkan org PA berubah seperti perusahaan kontraktor miliknya. Dia bermaksud mewarnai.
Kang ... supaya kas terisi, gimana kalau kita kirim edaran untuk minta sumbangan ke perusahaan-perusahaan. Jika perlu mirip uang keamanan ( jatah preman ), dengan sedikit tekanan dan ancaman. Saya katakan, sory, tak akan pernah kita melakukan hal yang seperti itu. Karena organisasi Pecinta Alam bukanlah kumpulan preman. System nilai premanisme yang ingin mewarnai.
Namun adakalanya penolakan itu tidaklah tegas .
Lalu system nilai primordial PA perlahan terkontaminasi oleh nilai-nilai asing. Minuman keras dan obat-obatan mulai dibawa ke alam terbuka. Hal yang sangat kontradiktif, karena PA mengajarkan tentang arti terjaga dan siaga ( awareness dan allertness ). Sedang semua bahan tadi justru menjadi unsur penghambat keterjagaan dan kesiagaan, sehingga reaksi menjadi lambat dan kehilangan fokus. Artinya PA tengah mengundang sang bencana. Kita sudah diwarnai ...
Kemaren di Riau terdengar berita ...
Kaum radikal memanfaatkan sekretariat Mapala di universitas. Ada diantara mereka yang juga jadi anggota Mapala, serta alumni universitas yang bersangkutan. Sang anggota mapala diwarnai olah system nilai dari luar, lalu tindakannya menjadi fatalis dan radikal. Bagaimana mungkin PA yang senantiasa memelihara dan menyelamatkan kehidupan, berubah menjadi penyebar bencana, kedukaan dan kematian. Semua itu dilakukan tepat di pusaran sang nilai, sekretariat PA !!!. Kita sudah diwarnai ...
Padahal, konsistensi akan system nilai PA bukan sekedar cerita atau bualan semata.
Anggota kami angk ke 2 - 1970, almarhum Kang blues, dimasa mudanya dulu dikenal urakan dan suka bikin perkara. Lingkungan brutal di jalanan membentuk pribadinya menjadi preman, yang tak jarang berbuntut pada tindak pidana kekerasan, sehingga berujung pada urusan dengan kepolisian.
Suatu waktu dia tertangkap. Namun sebelum itu dia sempat membuang dompetnya, lengkap dengan uang dan surat-surat lainnya. Karena dengan sebuah alasan, yaitu didompet ada Kartu Tanda Anggota (KTA) organisasi. Dia tak ingin organisasinya dikenai oleh akibat dari perbuatannya.
Tepat disidang, jaksanya ternyata almarhum kang Ujang, yang sama sama anggota organisasi, angk 1 - 1969. Keduanya tak bernegosiasi apapun, dan kang Blues dihukum sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Keduanya yang sudah almarhum, sama-sama memberi contoh, tentang kesetiaannya pada nilai-nilai PA. Kang blues tak ingin berkhianat pada organisasinya, dengan cara mempermalukan oleh tindakannya. Sedang kang Ujang tetap konsisten dengan nilai-nilai keadilan, sekalipun yang didakwa adalah temannya sendiri. Keduanya berhasil mewarnai sebuah sistem pengadilan di negeri ini.
Lain lagi dengan kang HA ( maaf pake inisial he he ).
Angka ke 6 – 1976 ini, dulu dimasa mudanya dikenal sebagai tukang mabuk dan berandalan ( sekarang mah sudah baik sekali ). Sulit untuk mengendalikan dan membina beliau yang satu ini. Sampai akhirnya diberikan sebuah surat tugas dari ketua suku. Isinya diberi tanggung jawab, untuk membawa 10 orang anggota muda ke Majalengka. Disana ada menara mesjid setinggi 25 meter, yang ingin dibersihkan dan di cat ulang. Sedang kontraktor sudah mengajukan biaya 1,5 juta dengan durasi waktu sebulan lamanya.
10 hari kemudian dia kembali ke sekretariat. Pekerjaan tadi diselesaikan dalam tempo 7 hari saja, dengan memakai alat-alat mountaineering, sehingga lebih efektif. Dengan memakan biaya hanya 500 ribu rupiah, alias sepertiga dari usulan kontraktor. Sehingga dia dan team mendapat surat penghargaan dari pejabat pemerintahan setempat.
Berita dari anggota team, kang HA yang tukang mabuk berat, selama pengerjaan tak pernah minum dan mabuk. Setiap hari diisi oleh bekerja tanpa lelah, sedang malam-malamnya diisi oleh tadarus dan shalat malam bertahajud. Sampai banyak ibu-ibu disana yang ingin mulung mantu ... :D
Kang HA, sadar betul, saat membawa surat tugas, maka system nilai satu satunya adalah system nilai Pecinta alam dan bukan system nilai yang lainnya. System nilai PA yang sama yang justru mewarnai penduduk dan para pejabat di Majalengka.
Tahun 2017 kemaren ...
Saya diminta untuk mengisi acara pengajian di lapas kepas 1 sukamiskin bandung. Mereka para mantan pejabat tinggi negara, sejak dari ketua dan presiden partai, mantan menteri, mantan gubernur, bupati dan walikota, dlsb. Sejak pertemuan awal, saya mengaku bukan ustadz, bukan agamawan, bukan ilmuwan, tapi hanya seorang Pecinta Alam saja. Yang kebetulan diberi tugas dalam sebuah pemeranan atas permintaan.
Warna PA yang independen, tak bertolak dari kutub atau partai politik manapun. Bukan pula datang dari sebuah mazhab keyakinan tertentu. Hanya seorang pecinta alam sederhana dan apa adanya saja. Datang tanpa pake kopiah, apalagi serban dikepala, kecuali topi pet. Tanpa baju takwa, koko atau jas mentereng, kecuali celana jeans , baju serta sepatu lapangan biasa. Serta menggendong ransel kumel yang biasa dipake di rimba.
Rencana hanya 1 kali pertemuan @ 2 jam saja, lalu atas permintaan hadirin mengulur menjadi 3 kali pertemuan. Semua tak lepas dari warna PA yang disemaikan. Yang kita benci adalah perbuatannya, berupa korupsi dan gratifikasi. Namun bukan orangnya, yang bisa insaf dan berubah, serta tetap harus diselamatkan ( rescue ). Penjara bukan untuk menghukum, namun justru menjadi pesantren guna mengasah diri, agar menjadi lebih baik dalam menjalani kehidupan kelak setelah keluar dari lembaga permasyarakatan... Insya Allah. ( photo dok )
Dan tentu ....
ada sekian banyak kisah dan pengalaman menarik lainnya, dari para kawan karib semua. Bagaimana Pecinta Alam yang mampu memberikan nuansa baru , seraya memberikan warna yang khas pada sekelilingnya.
Bahkan di bulan mei 2018 kemaren, Mapala Mahitala memberikan warna pada universitas institusi induknya, Unpar. Bahwa untuk membanggakan bangsa dan negeri ini, bukan hanya dengan belajar di ruangan saja, namun juga pelajaran berharga dari 7 puncak-puncak benua. Sebuah pelajaran yang akan dituliskan, seraya menjadi bagian dari eko-literasi, tentang fungsi , tugas dan pemeranan mapala dalam lingkungan akademis ilmiah. Sebuah warna baru yang sangat ditunggu dan didamba.
So brow ...
Sejak jaman dulu PA mewarnai, sama juga dengan dijaman now , senantiasa mewarnai ...
Sedang ...
hanya sekedar menjadi objek yang habis diwarnai pihak lain
Hanyalah keinginan dari pihak tertentu
yang mengharapkan sang garda bangsa terakhir inipun runtuh lalu hilang lenyap tanpa bekas
dalam gilasan roda jaman
Keep coloring brow !!!
VIVA PA INDONESIA
Yat Lessie.
benar sekali setuju dengan blog ini
BalasHapusEMI